Selasa, 20 Juli 2010

EKSTRAKSI MINYAK KELAPA

EKSTRAKSI
MINYAK KELAPA
A. TUJUAN
1. Membuat minyak dengan cara rendering dan mechanical expression
2. Menerangkan perbedaan prinsip ekstraksi antara cara rendering dan mechanical ekspresion
3. Membandingkan kualitas dna rendemen produk minyak yang dihasilkan pada kedua cara tersebut

B. PRINSIP
1. Ekstraksi cara basah : pemecahan system emulsi santan melalui denaturasi protein
2. Mechanical expression : ektraksi dengan cara pengepressan dengan tekanan secara mekanik

C. TINJAUAN PUSTAKA
Minyak kelapa merupakan salah satu jenis minyak makan yang telah lama dikenal dan dikonsumsi masyarakat, dibuat dari daging buah kelapa dengan cara ekstraksi. Pemanfaatan minyak buah kelapa terutama sebagai minyak goreng untuk makanan atau bahan baku pembuatan produk seperti sabun, margarine, kosmetika, obat-obatan dan lain-lain. Menurut SNI 01-2902-1992 tentang Mutu dan Cara Uji Minyak Kelapa, minyak kelapa adalah minyak yang diperoleh dengan cara mengepres kopra yang telah dikeringkan atau hasil ekstraksi bungkil kopra.
Minyak kelapa merupakan bagian paling berharga dari buah kelapa. Kandungan minyak pada daging buah kelapa tua adalah sebanyak 34,7%. Minyak kelapa digunakan sebagai bahan baku industri, atau sebagai minyak goreng. Minyak kelapa dapat diekstrak dari daging kelapa segar, atau diekstrak dari daging kelapa yang telah dikeringkan (kopra).
Minyak kelapa merupakan minyak yang diperoleh dari kopra (daging buah kelapa yang dikeringkan) atau dari perasan santannya. Kandungan minyak pada daging buah kelapa tua diperkirakan mencapai 30%-35%, atau kandungan minyak dalam kopra mencapai 63-72%. Minyak kelapa sebagaimana minyak nabati lainnya merupakan senyawa trigliserida yang tersusun atas berbagai asam lemak dan 90% diantaranya merupakan asam lemak jenuh. Berikut syarat mutu minyak kelapa berdasarkan SNI 01-2902-1992 tentang Mutu dan Cara Uji Minyak Kelapa
Tabel 1. Syarat mutu minyak kelapa berdasarkan SNI 01-2902-1992
Syarat Mutu Kelapa
• Air maks. 0,5%
• Kotoran maks. 0,05%
• Bilangan jod (g jod/100 g contoh) 8 – 10,0
• Bilangan penyabunan (mg KOH/g contoh) 255 – 265
• Bilangan peroksida (mg oksigen/g contoh) maks. 5,0
• Asam lemak bebas (dihitung sebagai asam laurat) maks. 5%
• Warna, bau normal
• Minyak pelikan negative
• Untuk industri makanan tidak boleh mengandung logam-logam berbahaya dan arsen
Sumber : Badan Standarisasi Nasional
Selain itu minyak kelapa yang belum dimurnikan juga mengandung sejumlah kecil komponen bukan lemak seperti fosfatida, gum, sterol (0,06-0,08%), tokoferol (0,003%), dan asam lemak bebas (< 5%) dan sedikit protein dan karoten. Sterol berfungsi sebagai stabilizer dalam minyak dan tokoferol sebagai antioksidan (Ketaren, 1986). Setiap minyak nabati memiliki sifat dan ciri tersendiri yang sangat ditentukan oleh struktur asam lemak pada rangkaian trigliseridanya. Minyak kelapa kaya akan asam lemak berantai sedang (C8 – C14), khususnya asam laurat dan asam meristat. Adanya asam lemak rantai sedang ini (medium chain fat) yang relatif tinggi membuat minyak kelapa mempunyai beberapa sifat daya bunuh terhadap beberapa senyawaan yang berbahaya di dalam tubuh manusia. Sifat inilah yang didayagunakan pada pembuatan minyak kelapa murni (VCO, virgin coconut oil).
Ekstraksi minyak merupakan suatu cara untuk mendapatkan minyak dari bahan yang diduga mengandung minyak. Cara ekstraksi ini bermacam-macam, yaitu rendering, mechanical expression, dan solvent extraction.
Rendering merupakan salah satu cara ekstraksi minyak dari bahan yang diduga mengandung minyak dengan kadar air tinggi. Pada semua cara rendering, penggunaan panas adalah suatu hal yang spesifik, yaitu bertujuan untuk menggumpalkan protein yang terdapat pada dinding sel bahan dan untuk memecahkan dinding sel tersebut sehingga mudah ditembus oleh minyak yang terkandung di dalamnya.
Menurut pengejaannya rendering dibagi dalam dua cara, yaitu wet rendering, dan dry rendering. Wet rendering adalah proses rendering dengan penambahan sejumlah air selama berlangsungnya proses tersebut, minyak diperoleh dengan cara memanaskan santan. Sedangkan Dry rendering adalah cara rendering tanpa adanya penambahan air selama proses berlangsung, minyak diperolah dengan cara mengepress kelapa parut yang telah digoreng atau disangrai. Pengolahan minyak secara rendering ini merupakan cara pengolahan tradisional yang banyak dilakukan perusahaan-perusahaan minyak kelapa rakyat.
Pengepressan mekanik (Mechanical Expression) merupakan suatu cara ekstraksi minyak dengan cara melakukan pengepressan, terutama dilakukan pada bahan yang umumnya berkadar minyak cukup tinggi (30-70%) terutama biji-bijian dan sering juga diterapkan pada kopra. Proses pengepressan mekanik ini terdiri dari dua cara, yaitu pengepressan hidraulik (Hydraulic Pressing) serta pengepressan sekrup dan ulir (Screw atau Expeller Pressing).
Pada cara pengepressan hidraulik, bahan dipress dengan tekanan sekitar 2000 pound/inch2. Banyaknya minyak yang dapat diekstraksi tergantung dari lamanya pengepressan dan tekanan yang dipergunakan untuk mengepress. Sedangkan banyaknya minyak yang tersisa pada bungkil bervariasi antara 4-6%, tergantung dari lamanya bungkil ditekan dibawah tekanan hidraulik.
Pada cara pengepressan sekrup ataupun ulir memerlukan perlakuan pendahuluan dari bahan yang dipress, yaitu dengan pemasakan atau tempering. Pada proses pemasakan dipergunakan temperatur 240oF (115,5oC). Tekanan yang dipergunakan biasanya 15-20 ton/inch2. Minyak yang dihasilkan pada cara ini kadar airnya berkisar antara 2,5 s/d 3,5% sedangkan bungkil yang dihasilkan masih mengandung minyak antara 4-5%.

D. ALAT & BAHAN
Alat Bahan
Pemarut kelapa Kelapa parut tanpa kulit
Kain saring Papaya
Pisau Nanas
Screw press
Timbangan
Wajan + sotil
Kompor

E. PROSEDUR
1. Ekstraksi Mechanical Expression
a. Kelapa parut disiapkan kemudian ditimbang
b. Sangrai diatas api kecil sampai kelapa berwarna kecoklatan dan tidak lengket di wajan
c. Masukan kelapa sangrai kedalam kain saring kemudian tempatkan di wadah screw press
d. Minyak yang keluar ditampung kemudian ditimbang
e. hitung rendemen minyak
2. Ekstraksi dengan Enzim Papain
a. Kelapa parut disiapkan kemudian ditimbang
b. Buat santan, dengan menambahkan air, meremas-remas dan memeras. Lakukan penambahan air lagi dan ekstraksi santan hingga santan terlihat jernih (tidak mengandung minyak). Total penambahan air diperkirakan sebanyak 2 kali berat kelapa parut.
c. Masak santan dalam wadah terbuka (wajan) pada suhu 95-100oC selama 3-4 jam atau sampai terbentuk blondo yang berwarna coklat
d. Cara pemasakan yang lain yaitu dilakukan dalam 2 tahap : pemanasan pendahuluan (± 15 menit mendidih), biarkan santan memisah skim dan krimnya. Minyak akan terpisah pada bagian krim santan. Setelah pemisahan krimnya, panaskan lagi hingga blondonya menggumpal dan berwarna coklat
e. Timbang minyak yang diperoleh

F. DATA HASIL PENGAMATAN
Tabel 1. Rendemen dan bobot minyak yang dihasilkan masing-masing metode ekstraksi
Jenis Bahan Mechanical Expression Cara basah Cara Basah Dengan enzim Papain Cara Basah dengan enzim Bromelin
Kelapa parut 1600 g 1600 g 1600 g 1680 g
Minyak 250 g 285 g 280 g 265,4 g
Ampas/Blondo 450 g 180 g 40 g Missing data
Rendemen 15,63% 17,81% 17,5% 15,80%

Tabel 2. Organoleptik minyak yang dihasilkan masing-masing metode ekstraksi
Parameter Mechanical Expression Cara basah Cara Basah Dengan enzim Papain Cara Basah dengan enzim Bromelin
Warna kuning pekat Putih kekuningan Kuning keemasan Kuning keemasan sedikit pekat
Kejernihan Sedikit keruh Jernih Jernih Jernih
Aroma Bau khas minyak kelapa Bau minyak kelapa sangat tajam Bau minyak kelapa sangat tajam Bau minyak kelapa sangat tajam


Gambar 1. Minyak Kelapa hasil ekstraksi
(Kiri-Kanan) : mechanical expression, cara basah, cara basah enzimatis dengan enzim papain, cara basah enzimatis dengan enzim bromelin

G. PEMBAHASAN
Praktikum pembuatan minyak kelapa ini menggunakan bahan baku kelapa parut tanpa kulit arinya, sehingga berpenampakan bersih. Proses pembuatan minyak kelapa ini menggunakan 4 proses berbeda dan masing-masing dilakukan oleh kelompok yang berbeda.
Proses pembuatan minyak yang dilakukan yaitu yang pertama dengan cara mechanical expression, cara basah biasa, cara basah dengan penambahan enzim papain dari buah papaya, dan terakhir dengan cara basah dengan penambahan enzim bromelin dari buah nanas.
Secara garis besar proses pembuatan minyak kelapa dapat dilakukan dengan dua cara:
a. Minyak kelapa diekstrak dari daging kelapa segar, atau dikenal dengan proses basah. Untuk menghasilkan minyak dari proses basah dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
• Cara Basah Tradisional
• Cara Basah Fermentasi
• Cara basah Sentrifugasi
• Cara Basah dengan Penggorengan
b. Minyak kelapa diekstrak dari daging kelapa yang telah dikeringkan (kopra) atau dikenal proses kering. Untuk menghasilkan minyak dari proses basah dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
• Ekstraksi secara mekanis (press)
• Ekstraksi menggunakan pelarut

Dari keterangan tersebut diketahui bahwa seharusnya proses pengpressan atau mechanical expression dilakukan pada bahan daging kelapa yang sudah dikeringkan (kopra) akan tetapi saat praktikum kelapa yang dipergunakan sama dengan kelapa yang diproses dengan cara basah dll, yaitu menggunakan kelapa parut.



1. Mechanical Expression
Saat praktikum, proses ekstraksi minyak dengan metode mechanical expression ini dilakukan dengan cara menyangrai atau memanaskan bahan tanpa minyak diatas api. Proses ekstraksi dengan metode ini termasuk kedalam ekstraksi minyak cara kering, hal ini dikarenakan pada proses ektraksi dengan metode mechanical expression tidak dilakukan penambahan air terlebih dahulu.
Sebelum dipress, kelapa parut dipanaskan terlebih dahulu, proses pemanasan kelapa parut ini dilakukan sampai kelapa berubah warna menjadi kecoklatan dan mengeluarkan sedikit minyak diatas permukaan wajan.


Gambar 1.
Proses sagrai
(a) Bahan disangrai menggunakan api kecil (b) kelapa parut berubah warna dan siap dipress

Setelah kelapa parut berubah warna menjadi kecoklatan, kemudian dimasukan kedalam kain saring dan lalu dimasukan kedalam mesin pengepress. Minyak yang dihasilkan lalu ditampung dalam wadah, minyak yang dihasilkan dari proses ekstraksi dengan menggunakan metode ini berwarna orange pekat, dan agak keruh dibandingkan dengan hasil ekstraksi lainnya.


Gambar 2. Proses Mechanical expression
Bobot bahan yang dipergunakan untuk ekstraksi minyak dengan metode mechanical expression ini adalah sebanyak 1600 gram (1,6 kg), dan dihasilkan minyak sebanyak 250 gram. Dari data tersebut diketahui bahwa rendemen ektraksi kelapa dengan metode mechanical expression adalah 15,63%. Rendemen dari proses ekstraksi dengan metode mechanical expression paling sedikit dibandingkan dengan ekstraksi metode lainnya, hal ini menandakan bahwa ekstraksi dengan metode mechanical expression ini tidak dapat mengekstrak minyak dalam kelapa dengan maksimal.
2. Ekstraksi Cara Basah
Saat praktikum, pembuatan minyak kelapa dengan cara basah dilakukan melalui pembuatan santan terlebih dahulu. Santan kelapa merupakan cairan hasil ekstraksi dari kelapa parut dengan menggunakan air. Bila santan didiamkan, secara pelan-pelan akan terjadi pemisahan bagian yang kaya dengan minyak dengan bagian yang miskin dengan minyak. Bagian yang kaya dengan minyak disebut sebagai krim, dan bagian yang miskin dengan minyak disebut dengan skim. Krim lebih ringan dibanding skim, karena itu krim berada pada bagian atas, dan skim pada bagian bawah.
Proses pembuatan santan merupakan tahap yang paling penting dalam pembuatan minyak. Untuk dapat membuat minyak yang lebih banyak maka jenis buah kelapa yang dipilih yaitu kelapa yang setengah tua dan kelapa tua. Santan itu sendiri merupakan jenis emulsi minyak dalam air (M/A), dimana yang berperan sebagai media pendispersi adalah air dan fasa terdispersinya adalah minyak.
Proses ekstraksi cara basah yang dilakukan saat praktikum merupakan metode cara basah tradisional. Pada cara ini, mula-mula dilakukan ekstraksi santan dari kelapa parut. Kemudian santan dipanaskan untuk menguapkan air dan menggumpalkan bagian bukan minyak yang disebut blondo. Blondo ini dipisahkan dari minyak. Terakhir, blondo diperas untuk mengeluarkan sisa minyak. Akan tetapi saat praktikum proses pemerasan tidak dilakukan, santan hanya dipanaskan sampai blondo berwarna kecoklatan.
Minyak yang dihasilkan adalah 285 gram dari 1600 gram kelapa parut, dan bobot blondo yang dihasilkan adalah 180 g. dari data tersebut diketahui bahwa rendemen ekstraksi minyak kelapa dengan cara basah adalah 17,81%. Hasil tersebut merupakan rendemen terbesar dari semua metode ekstraksi minyak kelapa yang dipergunakan.
Sedangkan dari hasil organoleptik, minyak kelapa yang dihasilkan dari hasil ekstraksi dengan cara basah ini berwarna putih kekuningan dan cukup jernih, akan tetapi aroma khas minyak kelapa paling menyengat jika dibandingkan dengan minyak hasil ekstraksi dengan metode lain.
3. Ekstraksi Cara Basah Enzimatis Dengan Enzim Papain
Cara basah ini dapat dilakukan secara kimiawi, mekanik, thermal, biologis/enzimatik. Globula-globula minyak dalam santan dikelilingi oleh lapisan tipis protein dan fosfolida. Lapisan protein menyelubungi tetes-tetes minyak yang terdispersi di dalam air. Untuk dapat menghasilkan minyak maka lapisan protein itu perlu dipecah sehingga tetes-tetes minyak akan bergabung menjadi minyak.
Seperti halnya ekstraksi minyak kelapa dengan cara basah biasa, ektraksi minyak kelapa dengan penambahan enzim papain dari buah papaya juga mengasilkan blondo. Enzim papain ditambahkan pada santan kelapa yang akan dipanaskan, enzim papain yang dipergunakan diambil dari buah papaya yang masih mentah, hal ini dikarenakan jumlah enzim papain dalam buah papaya mentah lebih banyak daripada buah papaya yang sudah matang. Enzim papain didapatkan dengan cara menghaluskan buah pepaya mentah menggunakan blender, kemudian disaring.
Produksi minyak kelapa dengan bantuan buah pepaya atau papain menghindari pemanasan berlebih. Sebab, tanpa pemanasan pun 'pengikat' antara minyak dan air telah rusak. Enzim papain mendegradasi komponen protein dan memecah dinding sel santan sehingga minyak terpisah dari air. Papain yang merusak protein itu tidak hanya terdapat di bagian buah, tetapi juga di batang dan daun pepaya.
Berdasarkan hasil praktikum diketahui, bobot minyak kelapa yang dihasilkan dari ekstraksi cara basah enzimatis dengan enzim papain adalah 280 gram dari bobot kelapa parut sebanyak 1600 gram, dan berat blondo yang dihasilkan adalah 40 gram. Dari hasil tersebut diketahui bahwa rendemen minyak kelapa yang dihasilkan dari ekstraksi cara basah enzimatis dengan enzim papain ini adalah 17,5%. Rendemen dari ekstraksi metode ini merupakan terbesar kedua setelah ekstraksi cara basah biasa.
Sedangkan dari hasil organoleptik minyak kelapa yang dihasilkan, warna minyak kuning keemasan dan memiliki tingkat kejernihan paling tinggi jika dibandingkan dengan minyak hasil ekstraksi dengan metode lain. Akan tetapi aroma yang dihasilkan juga sangat kuat dan khas minyak kelapa.
4. Ekstraksi Cara Basah Enzimatis Dengan Enzim Bromelin
Salah satu metode ekstraksi minyak kelapa murni adalah penggunaan protease, diantaranya bromelin dari buah nanas, untuk memecah emulsi santan Seperti halnya ekstraksi minyak enzimatis dengan enzim papain, ektraksi minyak dengan enzim bromelin ini juga ditambahkan pada santan yang akan dipanaskan. Selain pada bagian buah, enzim bromelin juga dapat berasal dari akar dan bonggol nanas.
Dari hasil penelitian, minyak hasil ekstraksi menggunakan nanas memiliki kandungan asam laurat yang tinggi. yakni berkisar antara 55-58%, dengan total kandungan asam lemak rantai sedang (Medium Chain Fatty Acid, MCFA) berkisar antara 59-83%. Kandungan asam laurat dan MCFA total tertinggi dihasilkan oleh minyak hasil ekstraksi menggunakan ekstrak buah nanas.
Berdasarkan hasil praktikum diketahui, bobot minyak kelapa yang dihasilkan dari ekstraksi cara basah enzimatis dengan enzim bromelin adalah 265,4 gram dari bobot kelapa parut sebanyak 1680 gram, dan berat blondo yang dihasilkan tidak diketahui (missing data). Dari hasil tersebut diketahui bahwa rendemen minyak kelapa yang dihasilkan dari ekstraksi cara basah enzimatis dengan enzim bromelin ini adalah 15,80%. Rendemen dari ekstraksi metode ini merupakan terbesar ketiga.
Sedangkan dari hasil organoleptik minyak kelapa yang dihasilkan, warna minyak kuning keemasan dan warnanya lebih pekat jika dibandingkan dengan minyak hasil ekstraksi dengan enzim papain. Tingkat kejernihan tidak terlalu tinggi jika dibandingkan dengan minyak ekstraksi dengan enzim papain, aroma yang dihasilkan juga sangat kuat dan khas minyak kelapa.

H. KESIMPULAN
Dari hasil praktikum diketahui bahwa rendemen minyak kelapa yang paling tinggi dihasilkan pada ekstraksi minyak kelapa dengan cara basah biasa, yaitu 17,81%. Dan mutu organoletptik minyak kelapa yang paling baik, dihasilkan pada ekstraksi minyak kelapa dengan cara basah enzimatis dengan enzim papain.






I. DAFTAR PUSTAKA
http://digilib.sunan-ampel.ac.id

http://eprints.undip.ac.id/1455/1/MAKALAH_PENELITIAN_format_baru2902_pdf.pdf.
http://diploma.chemistry.uii.ac.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=48.
http://iqmal.staff.ugm.ac.id/wp-content/2003-6-rasmiyati.pdf.
http://dekindo.com/content/teknologi/Proses_Pengolahan_Minyak_Kelapa.pdf.
http://diploma.chemistry.uii.ac.id/images/favicon.ico

EKSTRAKSI TAHU

EKTRAKSI
PEMBUATAN TAHU
A. TUJUAN
1. Membuat tahu dari kedelai
2. Menerangkan prinsip pembuatan tahu
3. Menilai kualitas tahu yang dihasilkan
4. Menentukan factor-faktor yang mempengaruhi proses kualitas tahu

B. PRINSIP
Proses ekstraksi atau pengambilan protein dalam kedelai dengan menggunakan pelarut air dan proses pengendapan kembali protein dalam larutan ekstrak dengan cara menurunkan pH.

C. TINJAUAN PUSTAKA
Tahu merupakan salah satu makanan tradisional yang populer. Selain rasanya enak, harganya murah dan nilai gizinya pun tinggi. Bahan makanan ini diolah dari kacang-kacangan khususnya kacang kedelai. Meskipun berharga murah dan bentuknya sederhana, ternyata tahu mempunyai mutu yang istimewa dilihat dari segi gizi. Hasil-hasil studi menunjukkan bahwa tahu kaya protein bermutu tinggi, tinggi sifat komplementasi proteinnya, ideal untuk makanan diet, rendah kandungan lemak jenuh dan bebas kholesterol, kaya mineral dan vitamin, makanan alami yang sehat dan bebas dari senyawa kimia yang beracun.
Seperti makanan tradisional lainnya tahu umumnya diproses pada skala industry kecil. Meskipun saat ini pabrik tahu besar sudah banyak terdapat di beberapa kota besar, namun tidak sedikit pula industry kecil tahu yang masih bertahan. Untuk produsen yang skala produksinya kecil, biasanya proses dilakukan secara tradisional yang kurang memperhatikan efisiensi prosesnya.
Prinsip dasar pembuatan tahu terdiri atas 3 tahap, yaitu proses ekstraksi atau pengambilan protein dalam kedelai dengan menggunakan pelarut air dan proses pengendapan kembali protein dalam larutan ekstrak dengan cara menurunkan pH dari larutan serta pengepressan untuk memisahkan dan memadatkan gumpalan protein (tahu) dari whey.
Bahan baku dalam proses pembuatan tahu adalah kedelai yang sudah dikenal sebagai sumber protein tinggi sehingga tahu juga merupakan bahan makanan dengan kandungan protein relatif tinggi. Untuk membuat tahu, mula-mula kedelai direndam dalam air bersih selama 8-12 jam. Selama perendaman, kedelai akan menyerap air sampai mencapai batas kejenuhan dan mneghasilkan kedelai yang lunak seihngga mempermudah proses penggilingan. Selain itu perendaman juga akan memperbaiki komposisi kimia kedelai, dapat memberikan dispersi yang lebih baik dari bahan padat pada kedelai yang digiling dalam ekstraksi, serta juga dapat mengurangi bau khas (langu) dari kedelai.
Tabel 1. Komposisi Kedelai per 100 gram Bahan
KOMPONEN KADAR (%)
Protein 35-45
Lemak 18-32
Karbohidrat 12-30
Air 7

Penggilingan bertujuan untuk mengambil protein kedelai lebih mudah. Penggilingan dilakukan dengan penambahan air sebanyak 8-10 kali dari jumlah kedelai yang diolah. Proses ekstraksi susu kedelai dipengaruhi oleh suhu, ekstraksi dapat dilakukan dengan air dingin atau air panas (80-100oC). Pada umumnya pada suhu ekstraksi makain tinggi maka kecepatan dan banyaknya bahan terekstraksi makin besar. Akan tetapi dalam pembuatan tahu in bahan yang diekstraksi adalah protein, dengan panas dapat membuat protein terdenaturasi dan sulit larut dalam air. Pengkajian dilakukan untuk membandingkan ekstraksi yang sebaiknya dilakukan pada suhu dingin, yaitu perebusan dilakukan setelah penyaringan, atau ekstraksi dilakukan pada suhu panas yaitu perebusan dilakukan pada bubur hasil penggilingan, baru kemudian dilakukan penyaringan.
Ekstraksi panas akan menghasilkan rendemen protein lebih dari 80% dan mencegah aktivitas enzim lipoksigenase yang menyebabkan bau langu pada kedelai. Pemanasan susu kedelai dilakukan pada 100-105oC selama 30 menit.
Semakin tinggi pH air yang dipergunakan untuk mengekstraksi, semakin tinggi protein yang terekstrak, sehingga perlu dipertimbangkan pemakaian bahan kimia tertentu untuk membuat air yang dipergunakan dalam pembuatan tahu bersifat lebih alkalis agar protein dalam kedelai dapat lebih banyak terambil.
Pengkajian terhadap pengaruh pengulitan pada pembuatan tahu dilakukan dengan menentukan kadar protein dalam tahu dan menghitung perolehan protein kedelai dalam proses ekstraksi yang dilakukan pada suhu panas maupun dingin.
Protein susu kedelai yang masih panas (80-90oC) dikoagulasikan (digumpalkan) dengan penambahan koagulan berupa asam cuka, whey, CaSO4, CaCl2. Untuk asam asetat disarankan penggunaan kadar 0,5% untuk ekstraksi yang dilakukan pada ratio kedelai : air sebesar 1:8 dan 1:10. Untuk tahu yang diendapkan dengan air tahu yang ditambahkan sulit diberikan secara kuantitatif. Pengendapan dilakukan paling cepat 5 menit.
Gumpalan protein yang terbentuk selanjutnya dicetak, ditekan atau dipress dengan pemberat selama 10-15 menit tergantung dari pemberat dan tekstur tahu yang diinginkan. Pemberian warna kuning (dengna kunyit) dilakukan dengan cara dimasak dalam larutan kunyit dan garam.
Disamping kelebihan yang ada pada tahu, ada juga kelemahannya antara lain kandungan air yang cukup tinggi (87 %), Juga mengandung lemak 4.8% dan karbohidrat 1.6%. Kandungan air yang cukup tinggi merupakan suatu keadaan yang sangat baik untuk pertumbuhan mikroba, Protein tahu tidak terlalu tinggi, hal ini disebabkan oleh kadar airnya yang sangat tinggi (84,8%). Makanan-makanan yang berkadar air tinggi umumnya mengandung protein agak rendah.


Tabel 2. Kandungan Tahu Per 100gr
Kandungan Gizi Jumlah
Energi (Kal) 68
Protein (g) 7,8
Lemak (g) 4,6
Kalsium (mg) 124
Air (g) 84,8







Lauk-pauk hewani umumnya mengandung protein lebih tinggi, misalnya telur 12%, daging 18%-20%, ikan 20%, ikan asin 40% dll. Namun, dengan harga yang lebih mahal membuat masyarakat tidak dapat mengonsumsi lauk-pauk hewani secara rutin setiap hari. Oleh sebab itu pangan berbahan baku kedele menjadi alternatif lain, selain murah juga memenuhi syarat gizi seperti tahu atau tempe.
D. ALAT & BAHAN
Alat Bahan
• Dandang
• Pengaduk kayu
• Ember
• Saringan
• Timbangan
• Kain kasa
• Gilingan tahu
• Kompor
• Cetakan tahu
• Kain saring • Kedelai kuning
• Asam cuka
• Whey
CaCl2
• CaSO4

E. PROSEDUR
Ekstraksi Panas
a. Timbang kedelai kuning sebanyak 1 kg
b. Cuci dan rendam semalam
c. Cuci lagi sambil diremas-remas sehingga kulit ari terlepas dan dipisahkan dari kedelai
d. Hancurkan dengan penambahan air sampai 8 liter
e. Rebus bubur kedelai sampai mendidih
f. Saring dalam keadaan panas dengan kain saring untuk mengekstraksi protein kedelai
g. Didinginkan sampai suhu turun menjadi 85oC dan masukan salah satu bahan penggumpal ; asam cuka 4% , 100 mL/1 liter susu kedelai ; whey ; CaCl 1%, 100 mL/1 lliter susu kedelai ; CaSO4 1%, 250 mL/1 liter susu kedelai
h. Aduk perlahan-lahan untuk menghomogenkan bahan penggumpal
i. Setelah protein mulai menggumpal biarkan mengendap
j. Buang air biang, gumpalan protein dimasukan ke dalam cetakan tahu dilapisi kain kasa. Atur kain kasa dengan rapi untuk memudahkan pengepressan. Beri pemberat untuk memapatkan gumpalan protein tahu.
k. Setelah dingin, keluarkan tahu dari alat cetakan
l. Potong tahu yang dihasilkan sesuai dengan ukuran yang diinginkan
m. Rebus tahu yang dihasilkan (dapat ditambahkan kunyit/garam/pengawet yang dijinkan pengunaannya)
n. Timbang dan lakukan pengamatan terhadap hasil tahu yang diperoleh meliputi analisis sensoris rasa, bau, warna, dan kekompakan.
o. Catat semua data pengamatan yang diperoleh, hasil pengamatan harus diketahui dan disetujui oleh dosen pembimbing




F. DATA HASIL PENGAMATAN
Tahu menggunakan Cuka Tahu menggunakan Batu Tahu
• Konsistensi padat
• Tekstur halus
• Aroma khas tahu
• Rasa khas tahu • Konsistensi padat
• Teksur agak kasar
• Rasa hambar agak pahit dan terasa sedikit kapur
• Aroma tercium bau kapur

G. PEMBAHASAN
Tahu dapat terbuat dari kacang kedele atau dari kacang hijau, tetapi umumnya di Indonesia pengusaha tahu membuat tahu dari kacang kedele (Sutrisno K, 1995). Tahu merupakan salah satu contoh produk yang diproses dengan cara ekstraksi menggunakan panas. Secara kimia dapat dikatakan bahwa proses pembuatan tahu adalah pengendapan protein yang terdapat dalam sari kedele pada titik isoelektrisnya (SII, 1990).
Sebelum diproses kedelai disortasi, pemilihan kedele dimaksudkan agar tahu yang dihasilkan memiliki kulitas yang baik, dari segi warna, bau serta rasa. Kacang kedelai yang mempunyai kualitas yang baik, ini dapat dilihat dari bentuknya yang berukuran besar dan warnanya kuning gading. Setelah itu kedelai kemudian direndam dalam air selama 1 malam, proses perendaman ini selain bertujuan untuk melunakkan dinding kedelai sehingga memudahkan saat proses penggilingan, juga dimaksudkan untuk melunakkan tekstur selularnya, sehingga memberikan dispersi dan suspensi bahan padat kedelai yang lebih baik pada waktu ekstraksi dengan air.

Gambar 1. Proses Pengupasan Kulit
Setelah proses pengupasan kulit ari dilakukan, kedelai kemudian digiling dengan menggunakan alat penggiling mesin sehingga butiran kedelai yang besar menjadi kecil-kecil dan memeliki luas permukaan yang besar, akibatnya jika ada pelarut maka zat terlarut akan lebih mudah terekstrak.

Gambar 2. Proses penggilingan kedelai
Langkah ini memang sengaja dilakukan agar komponen yang ada dalam kedelai terkestrak. Protein yang ada dalam kacang kedele adalah legumeilin dan glisinin (E.C. Miller, 1938). Legumeilin termasuk dalam kelas albumin dan glicinin termasuk dalam kelas globulin. Kedua macam protein ini mempunyai sifat yang berbeda kelarutannya dalam air, dimana albumin larut dalam air dan globulin tidak larut dalam air. Akibatnya pada proses pembuatan tahu, yang diendapkan adalah legumeilin nya karena pada pembuatan tahu menggunakan pelarut air.
Terdapat variasi suhu dalam penggunaan air sebagai pengekstrak kacang kedelai, ada yang menggunakan air dingin dan ada yang menggunakan air hangat atau malah ada yang menggunakan air panas pada saat menggiling kedelai. Adanya variasi suhu air dalam proses penggilingan ini, akan memberi dampak yang berbeda pula pada proses melarutnya protein yang berupa legumeilin dan komponen lain yang ada dalam kacang kedelai. Hal ini dapat terjadi karena proses melarutnya suatu zat sangat dipengaruhi oleh temperatur (Keenan, 1995). Akan tetapi saat praktikum, air yang dipergunakan pada saat penggilingan adalah air dingin, dan air panas ditambahkan ketika sari kedelai dipanaskan.
Secara umum semakin tinggi suhu pelarut, akan mengakibatkan interaksi antara molekul pelarut dan zat terlarut semakin tinggi. Akibatnya komponen yang terlarut akan semakin banyak. Keadaan ini akan menyebabkan sari kedelai yang dihasilkan akan semakin pekat pula. Semakin pekat sari kedelai yang dihasilkan, maka tahu yang dihasilkan pun akan semakin banyak. Disamping itu adanya panas dapat menginaktifkan enzim lipoksigenase yaitu suatu enzim yang menimbulkan rasa langu pada kedelai. Dengan tidak aktifnya enzim ini maka rasa kedelai tidak langu. Penambahan air panas pada saat penggilingan tidak hanya menyebabkan tidak aktifnya enzim lipoksigenase tetapi juga mempengaruhi komponen dalam kedelai yang terlarut.
Sari kedelai tersebut kemudian dipanaskan, selama proses pemanasan terdapat buih-buih yang mengambang dipermukaan sari kedelai, buih tersebut dibuang. Pemasakan bubur kedele bertujuan untuk mengurangi bau langu, menginaktifkan tripsin inhibitor yaitu suatu enzim untuk menginaktifkan zat antinutrisi dan juga meningkatkan nilai cerna. Adanya panas akan menyebabkan protein yang ada dalam bubur kedele menjadi terdenaturasi


Gambar 3. Sari kedelai yang dipanaskan dan ditambahkan air panas
Lalu sari kedelai disaring dalam keadaan panas dengan menggunakan kain kasa, penyaringngan merupakan proses pemisahan antara filtrate dengan sisanya yang berupa ampas tahu. Pada filtrat atau sari kedelai akan terdapat legumeilin. Hal ini disebabkan karena legumeilin memiliki sifat yang larut dalam air. Sedangkan glycynin akan terdapat dalam ampas tahu, karena glycynin tidak larut dalam air. setelah itu filtrate yang dihasilkan didinginkan sampai suhu 85oC, kemudian tambahkan bahan penggumpal. Bahan penggumpal yang dipergunakan saat praktikum ada 2, yaitu batu tahu dan cuka. Hal ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan fisik tahu yang dihasilkan dari 2 jenis penggumpal yang berbeda tersebut.

Gambar 4. Proses penambahan bahan penggumpal
Bahan penggumpal ditambahkan sedikit demi sedikit, dan diaduk secara perlahan-lahan. Hal ini dilakukan agar proses penggumpalan protein berjalan dengan baik. Proses pembuatan tahu yang baik adalah menghasilkan jumlah tahu yang banyak disamping kualitas tahu yang baik. Salah satu indikator yang digunakan untuk menentukan kualitas atau mutu dari tahu adalah kadar proteinnya tinggi. Kadar protein dalam 100 gram adalah 7,9 gram (Direktorat gizi, 1993). Kadar protein yang ada dalan suatu bahan sangat ditentukan dari proses pembuatannya, dimana salah satu sifat dari protein adalah tidak tahan terhadap panas. Adanya panas yang tinggi akan menyebabkan protein akan rusak sehingga kadarnya akan menurun (Fessenden, 1996).

Gambar 5. Protein yang menggumpal setelah penambahan bahan penggumpal
Setelah protein dalam filtrat sari kedelai memisah, kemudian gumpalan tersebut dipisahkan dari whey atau cairan yang terdapat dalam filtrate tersebut. Gumpalan protein tersebut kemudian disaring dengan menggunakan kain kasa, usahakan lipatan kain kasa dibentuk dengan rapi untuk mempermudah proses pengepresan. Setelah itu beri pemberat, hal ini dilakukan untuk memampatkan protein tersebut. Jika diduga suhunya telah menurun, kemudian keluarkan dari cetakan lalu dipotong-potong dan direndam dengan air.

Gambar 5. Potongan tahu yang direndam air
Berdasarkan hasil pengamatan secara organoleptik, tahu yang dibuat dengan menggunakan bahan penggumpal batu tahu memiliki rasa dan aroma yang tidak terlalu disukai panelis, yaitu terdapat rasa seperti kapur setelah tahu digoreng. Selain itu tekstur tahu yang dihasilkan juga agak kasar meskipun padat.
Hal yang berbeda dihasilkan oleh tahu dengan bahan penggumpal cuka, tahu yang dihasilkan memiliki tekstur padat dan halus, selain itu rasa dan aroma tahu khas kedelai. Hal ini lebih disukai panelis dibandingkan dengan tahu yang menggunakan bahan penggumpal batu tahu.
Tahu yang memiliki mutu yang baik adalah tahu yang memiliki rasa dan aroma yang enak, kandungan protein yang cukup tinggi, dan daya cerna yang tinggi, yang sering diistilahkan sebagai PER (Protein Efficiency Ratio). Di samping itu tahu yang memiliki kualitas yang baik akan memiliki tekstur lunak dan elastis (tidak mudah pecah jika ditekan dengan telunjuk) serta memiliki warna putih atau kuning muda (Sutrisno K, 1995).





H. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil perbandingan tahu yang dihasilkan dengan menggunakan 2 penggumpal yang berbeda yaitu batu tahu dan cuka, maka diketahui tahu dengan bahan penggumpal cuka lebih disukai panelis karena tahu yang dihasilkan memiliki tekstur padat dan halus, selain itu rasa dan aroma tahu khas kedelai. Hal yang berbeda dihasilkan oleh tahu yang menggunakan batu tahu sebagai bahan penggumpal, tahu yang dihasilkan memiliki rasa dan aroma yang tidak terlalu disukai panelis, yaitu terdapat rasa seperti kapur setelah tahu digoreng. Selain itu tekstur tahu yang dihasilkan juga agak kasar meskipun padat.

I. DAFTAR PUSTAKA
• http://iebe-edukasi.weebly.com/university-of-indonesia.html
• http://cahayoupoenyablog.blogspot.com
• http://www.freewebs.com/santyasa/Lemlit/PDF_Files/SAINS/DESEMBER_2007/Siti_Maryam.pdf.
• http://kambing.ui.ac.id/bebas/v12/artikel/pangan/PIWP/TAHU.PDF.

EVAPORASI SUSU KENTAL MANIS

EVAPORASI SUSU KENTAL MANIS
A. TUJUAN
1. Menjelaskan prinsip-prinsip proses evaporasi
2. Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi proses evaporasi bahan pangan
3. Menganalisis kualitas produk evaporasi yang dihasilkan
4. Mengoptimasikan beberapa variable yang berpengaruh terhadap proses evaporasi

B. PRINSIP
Menguapkan sebagian dari pelarut pada titik didihnya dengan menggunakan energy panas, sehingga diperoleh larutan zat cair pekat yang konsentrasinya lebih tinggi.

C. TINJAUAN PUSTAKA
Dalam beberapa bahan pangan komponen yang terbanyak dikandungnya adalah air, seperti susu, sari buah-buahan dan nira tebu. Kandungan air ini kadang-kadang tidak menguntungkan, sehingga perlu dikurangi jumlahnya melalui proses penguapan. Penguapan atau evaporasi adalah suatu bentuk proses yang menggunakan panas untuk menurunkan kandungan air dari bahan pangan yang berbentuk cairan. Dalam proses ini sebagian air akan diuapkan sehingga akan diperoleh suatu bentuk yang kental yang disebut konsentrat.
Proses evaporasi merupakan proses yang melibatkan pindah panas dan pindah massa secara simultan. Penguapan terjadi karena cairan mendidih dan berlangsung perubahan fase dari cair menjadi uap. Proses pindah panas dan pindah masa yang efektif akan meningkatkan kecepatan evaporasi. Untuk itu perlu dipertimbangkan kecepatan pindah panas dan jumlah panas yang dibutuhkan.
Bagi produk pangan, terutama yang sensitif terhadap suhu tinggi atau panas, titik didih ini harus diturunkan lebih rendah dari titik didih air. Titik didih ini dapat diturunkan dengna menurunkan tekanan pada saat evaporasi berlangsung. Dalam usaha untuk mengoptimasikan proses evaporasi jumlah energy yang dipakai juga tergantung pada karakteristik bahan pangan yang diuapkan, seperti koefisien pindah panas bahan.
Aplikasi utama proses evaporasi dalam industry pangan dilakukannya bertujuan :
a. Untuk pengentalan awal suatu bahan cair sebelum dilakukan proses pengolahan selanjutnya, misalnya sebelum dilakukan spray drying, drum drying, kristalisasi.
b. Mengurangi volume cairan untuk mengurangi biaya penyimpanan, pengangkutan dan pengemasan.
c. Menurunkan Aw (Activity Water) dengan meningkatkan kandungan bahan padat dalam bahan untuk membantu pengawetan, misalnya dalam pembuatan susu kental.
Keadaan yang akan dijumpai selama evaporasi dapat bermacam-macam. Cairan yang akan diuapkan mungkin lebih kental sehingga sulit mengalir. Mungkin juga terjadi pengendapan yang membentuk kerak pada permukaan pemanas, terjadi pembentukan buih, kenaikan titik didih atau terjadi kerusakan karena suhu tinggi. Selama evaporasi berlangsung sisa cairan akan lebih pekat menyebabkan titik didih cairan menjadi naik, bila sumber panas masih tetap. Kenaikan titik didih ini akan menurunkan kecepatan pindah panas. Demikian pula viscositas cairan juga meningkat, yang akan menaikan koefisien pindah panas dan memperlambat pendidihan.
D. ALAT DAN BAHAN
Alat Bahan
• Evaporator
• Gelas ukur
• Thermometer
• Peralatan masak • Susu segar
• CMC (Carbon Metil Cellulose)





E. PROSEDUR
Pembuatan Susu Evaporasi
1. Siapkan susu sapi segar, ukur volume dan amati secara organoleptik
2. Masukan kedalam alat evaporator dan diuapkan sampai volume susu berkurang setengahnya
3. Keluarkan susu dari alat evaporator
4. Susu hasil evaporasi dipanaskan diatas kompor dan tambahkan gula pasir serta CMC
5. Panaskan sampai bahan larut dan mendidih
6. Masukan susu kental manis kedalam kaleng, dan sterilisasi
7. Amati secara organoleptik (warna, bau, rasa) setelah penyimpanan selama 1 minggu

F. DATA HASIL PENGAMATAN
1. Susu Kental Manis (SKM) formula I (gula 30% dan CMC 2%)
No Parameter Pengamatan
Dalam kaleng Setelah diseduh
1 Rasa Manis Manis cenderung seperti susu segar
2 Aroma Khas susu lebih kuat dibanding SKM formula II Khas susu
3 Kekentalan Lebih kental (cenderung seperti lem kanji) dan lebih lembut dibandingkan SKM formula II Lebih encer
4 Kenampakan warna kuning (cenderung seperti krim) terlihat butiran CMC yang belum homogen Lebih putih dibandingkan sebelum diseduh, tampak butiran-butiran seperti tepung





2. Susu kental manis formula II (gula 35% dan CMC 1%)
No Parameter Pengamatan
Dalam kaleng Setelah diseduh
1 Rasa Lebih manis dibanding formula I Manis cenderung seperti susu segar
2 Aroma Khas susu Khas susu
3 Kekentalan Kental (cenderung seperti lem kanji) kurang lembut Lebih encer
4 Kenampakan warna agak kuning (cenderung seperti krim) terlihat butiran CMC yang belum homogen Lebih putih dibandingkan sebelum diseduh, tampak butiran-butiran seperti tepung

G. PEMBAHASAN
Weetened Condensed Milk atau lebih dikenal dalam bahasa Indonesia Susu Kental Manis adalah produk hasil olahan susu yang sudah dikenal cukup lama setelah keju dan yoghurt. Pada abad ke 18 di Amerika, SKM diproduksi dengan cara mengevaporasi air dari susu segar secara vakum sebanyak 50% dari total kandungan air di dalam susu segar, kemudian ditambahkan gula sebanyak 45-50% sebagai pengawet. Susu kental, atau lebih umum susu kental manis, adalah susu sapi yang airnya dihilangkan dan ditambahkan gula, sehingga menghasilkan susu yang sangat kental dan dapat bertahan selama satu tahun bila tidak dibuka. Susu kental manis sering ditambahkan pada hidangan penutup, pada umumnya kue.

Gambar 1. Susu Sapi Segar
Susu evaporasi atau evaporated milk ini adalah susu yang sudah berkurang kadar airnya, jadi lebih pekat daripada susu segar biasa. Susu eveporasi tidak sekental susu kental manis. Secara umum istilah “Susu Kental” berarti susu yang dimaniskan sedangkan istilah susu yang diuapkan (evaporated milk) berarti produk-produk yang tidak dimaniskan. (Buckle, 1987)
Menurut standar internasional Codex STAN A-4-1971, Rev.1-1999 untuk Sweetened Condensed Milk dan SNI 01-2971-1998 untuk Susu Kental Manis, suatu produk susu dikategorikan sebagai SKM bila kandungan protein 6.8 – 10% dan lemak 8-10%.
Susu yang dipergunakan saat praktikum proses evaporasi susu kental manis (SKM) adalah susu sapi segar. Proses pembuatan SKM ini dilakukan dengan menggunakan 2 formulasi, perbedaan dari kedua formulasi SKM ini adalah konsentrasi gula pasir dan CMC yang ditambahkan.
Formulasi yang pertama menggunakan gula pasir sebanyak 30% dan CMC sebanyak 2% dari bobot susu yang telah dievaporasi. Sedangkan formulasi yang kedua menggunakan gula pasir sebanyak 35% dan CMC sebanyak 1% dari bobot susu yang telah dievaporasi. Fungsi gula terutama adalah sebagai bahan pengawet, karena sebagian besar mikroorganisme kecuali ragi-ragi osmofilik tidak dapat hidup pada konsentrasi gula 62,5%.
Kandungan gula (sukrosa) yang tinggi di dalam SKM (rasio sukrosa dalam air, 62.5-64%) menjadikan SKM memiliki umur simpan yang lama, yaitu 12 bulan dalam kemasan tertutup. Karena umur simpan yang lama tersebut, dan penyimpanannya cukup di suhu ruang, SKM menjadi solusi produk olahan susu yang mudah didistribusikan di negara-negara tropis seperti Indonesia.
Pembuatan SKM saat praktikum, dilakukan dengan menguapkan susu sapi segar terlebih dahulu dengan menggunakan evaporator, suhu yang dipergunakan selama proses evaporasi adalah 80oC. Volume susu segar untuk masing-masing formulasi adalah sebanyak 3 liter, dan proses evaporasi dihentikan sampai volume susu segar mencapai 1,5 liter.
Penguapan atau evaporasi adalah proses perubahan molekul di dalam keadaan cair (contohnya air) dengan spontan menjadi gas (contohnya uap air). Proses ini adalah kebalikan dari kondensasi. Umumnya penguapan dapat dilihat dari lenyapnya cairan secara berangsur-angsur ketika terpapar pada gas dengan volume signifikan.

Gambar 2. Proses Evaporasi Susu Sapi Segar
Setelah susu sapi segar dievaporasi, langkah selanjutnya adalah memanaskan susu evaporasi tersebut diatas api lalu kemudian ditambahkan gula pasir dan CMC sesuai dengan formulasi yang telah ditetapkan. Sebelum ditambahkan, gula pasir dan CMC diaduk terlebih dahulu, hal ini dilakukan agar CMC mudah larut dalam bahan. Susu hasil evaporasi yang telah ditambahkan gula pasir dan CMC tersebut diaduk sampai homogen, dan hasilnya adalah Susu Kental Manis.

Gambar 3. (Kiri) Pencampuran gula pasir dan CMC ; (kanan) Susu hasil evaporasi
Setelah susu kental manis selesai dibuat, tahap selanjutnya adalah pengemasan yang dilakukan dengan kaleng. Proses pengalengan dilakukan dengan mensterilisasi kalengnya terlebih dahulu lalu susu dimasukan kedalam kaleng, pengisian bahan tidak dilakukan sampai penuh karena harus disisakan sebagian volume kaleng untuk ruang kosong yang dikenal dengan head space. Ukuran head space dalam pengalengan bahan pangan sangat penting, ukuran head space yang terlalu kecil menyebabkan kecepatan penetrasi panas rendah karena kenaikan densitas isi kaleng. Dan bila head space terlalu besar maka relative jumlah udara yang terakumulasi dalam kaleng besar sehingga kemungkinan terjasi oksidasi pada bahan juga besar.
Setelah pengisian dilakukan, kaleng yang sudah berisi bahan kemudian di-exhausting, tujuan exhausting adalah untuk mengeluarkan semua udara dan gas yang ada dalam kaleng. Exhausting dilakukan dengan cara memanaskan kaleng yang berisi bahan dalam air yang mendidih selama 5-10 menit. Setelah itu kemudian kaleng ditutup dengan menggunakan alat double seaming, kaleng kemudian disterilisasi. Saat praktikum, proses sterilisasi dilakukan dengan menggunakan pressure cooking (presto)
Berdasarkan hasil praktikum dan pengamatan organoleptik, diketahui bahwa hasil pada susu kental manis formulasi pertama (gula pasir 30% dan CMC 2%) memiliki rasa manis, aroma khas susu lebih kuat dibandingkan dengan SKM fomulasi kedua, selain itu SKM formula pertama sangat kental (cenderung seperti lem kanji) dan lebih lembut, dan memiliki warna kuning (cenderung terlihat seperti krim) dan tampak butiran CMC yang belum homogen dengan bahan. Setelah diseduh, SKM formulasi pertama ini memiliki rasa manis (cenderung seperti susu segar), aroma khas susu tetapi tidak terlalu menyengat, lebih encer dan warnanya lebih putih dibandingkan dengan SKM yang belum diseduh, dan tampak butiran CMC yang seperti tepung mengambang dipermukaan susu dan didasar gelas.
Dan SKM formulasi kedua (gula pasir 35% dan CMC 1%) memiliki rasa yang lebih manis dibandingkan dengan SKM formulasi pertama, aroma khas susu, kental akan tetapi kurang lembut, memiliki warna agak kuning dan tampak CMC yang belum homogen pada susu. Setelah diseduh, SKM memiliki rasa manis, dengan aroma khas susu, lebih encer, dan berwarna lebih putih dibandingkan dengan SKM sebelum diseduh, selain itu seperti halnya pada SKM formulasi pertama, pada SKM formulasi kedua juga tampak butiran-butiran CMC yang seperti tepung.
Sebagaimana produk pangan pada umumnya, parameter mutu susu kental manis bisa dibagi dalam aspek mutu fisika, kimia, mikrobiologi dan organoleptik. Parameter fisika yang penting bagi konsumen adalah viskositas (kekentalan) dan separasi lemak. Apabila terlalu encer akan boros, sebaliknya apabila terlalu kental akan susah keluar dari lubang yang dibuat di kalengnya. Kandungan kalsium yang terlalu tinggi dalam produk dapat mengakibatkan viskositas yang terlalu kental, sebaliknya kandungan protein yang terlalu rendah dapat mengakibatkan viskositas yang terlalu encer.
Formulasi yang tepat dan kualitas bahan baku yang baik akan menghasilkan viskositas yang dikehendaki oleh konsumen. Separasi lemak pada umumnya terjadi apabila proses homogenisasi tidak efektif dan atau rasio lemak terhadap protein kasein di dalam formula lebih besar dari 5:1.
Produk KKM sangat rentan terhadap separasi lemak karena produk tersebut mengandung lemak tinggi dan rendah protein (kasein). Separasi lemak mengakibatkan penumpukan lemak di bagian atas kaleng sehingga pada waktu kaleng dibuka seolah-olah susu menggumpal. Penambahan emulsifier yang tepat dapat membantu mencegah terjadinya separasi lemak.
Parameter kimia adalah menyangkut kandungan zat-zat gizi di dalam produk seperti lemak, protein, gula (sukrosa) dan lainnya. Hal penting untuk daya simpan, keamanan dan organoleptik produk SKM adalah kandungan gula (sukrosa) yang dinyatakan dalam persentase SWR (sucrose water ratio). Nilai SWR yang ideal adalah 62.5 – 64%. Apabila nilai SWR di bawah 62.5% maka produk SKM tersebut akan rentan terhadap kerusakan mikrobiologi selama penyimpanan, karena kandungan sukrosanya belum memadai untuk membentuk tekanan osmotik di dalam produk sebesar 140 atmosfir yang bisa menghambat pertumbuhan bakteri. Sebaliknya apabila nilai SWR di atas 64% maka akan rentan terhadap kristalisasi gula yang membuat tekstur SKM tersebut menjadi kasar.
Parameter mikrobiologi menyangkut kandungan mikroba yang berhubungan dengan keamanan pangan tidak berbeda dengan produk pangan lainnya seperti coliform, E. coli, Salmonella, Staphylococcus. Selain itu kandungan mould dan yeast juga penting untuk dikendalikan. Apabila kandungan mould/yeast melebihi spesifikasi maksimum yang diperbolehkan atau apabila gula yang dipakai mengandung gula pereduksi (gula tunggal), maka akan terjadi fermentasi selama penyimpanan yang menyebabkan terbentuknya gas (kaleng gembung). Selain itu gula pereduksi juga menyebabkan terjadinya reaksi Maillard sehingga warna SKM menjadi cepat tua (kecoklatan).
Parameter organoleptik yang penting adalah sandiness (tekstur kasar seperti berpasir). Sandiness terjadi apabila seeding laktosa tidak sempurna yang disebabkan oleh jumlah laktosa tidak tepat, butiran laktosa terlalu besar atau suhu seeding tidak tepat, bisa juga karena SWR yang terlalu tinggi (melebihi 64%) sehingga gula mengkristal.

H. KESIMPULAN
Dari hasil praktikum susu kental manis dengan dua formulasi berbeda, diketahui bahwa penambahan CMC sebanyak 2% pada susu evaporasi sebanyak 1,5 liter terlalu banyak sehingga mengakibatkan SKM menjadi sangat kental. SKM formulasi kedua memiliki rasa yang lebih manis, hal ini tentu dikarenakan jumlah gula pasir yang ditambahkan lebih banyak daripada SKM pada formulasi pertama.

I. DAFTAR PUSTAKA
• http://ala-rinarinso.blogspot.com/2009/04/susu-evaporasi.html
• www.wikipedia.org
• www.chem-is-try.org
• http://www.gapmmi.or.id
• http://mayong.staff.ugm.ac.id
• Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dn Gizi. Jakarta: Penerbit Gramedia.
• Buckle, et al. 1987. Ilmu Pangan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

FERMENTASI TEMPE

FERMENTASI TEMPE
A. TUJUAN
1. Menjelaskan prinsip-prinsip pembuatan produk fermentasi menggunakan kapang
2. Membuat produk fermentasi yaitu tempe
3. Menganalisis kualitas hasil bahan pangan fermentasi yang dibuat menggunakan kapang, khususnya hasil fermantasi mengggunakan bahan kedelai.

B. PRINSIP
menumbuhkan mikroba tertentu pada substrat sehingga menjadi produk baru akibat proses metabolisme mikroba tersebut.
C. TINJAUAN PUSTAKA
Fermentasi merupakan kegiatan mikrobia pada bahan pangan sehingga dihasilkan produk yang dikehendaki. Mikrobia yang umumnya terlibat dalam fermentasi adalah bakteri, khamir dan kapang. Contoh bakteri yang digunakan dalam fermentasi adalah Acetobacter xylinum pada pembuatan nata decoco, Acetobacter aceti pada pembuatan asam asetat. Contoh khamir dalam fermentasi adalah Saccharomyces cerevisiae dalam pembuatan alkohol sedang contoh kapang adalah Rhizopus sp pada pembuatan tempe, Monascus purpureus pada pembuatan angkak dan sebagainya.
Fermentasi dapat dilakukan menggunakan kultur murni ataupun alami serta dengan kultur tunggal ataupun kultur campuran. Fermentasi menggunakan kultur alami umumnya dilakukan pada proses fermentasi tradisional yang memanfaatkan mikroorganisme yang ada di lingkungan. Industri fermentasi dalam pelaksanaan proses dipengaruhi oleh beberapa faktor:
1. Mikrobia
2. Bahan dasar
3. Sifat-sifat proses
4. pilot-plant
5. faktor sosial ekonomi

Mikrobia dalam industri fermentasi merupakan faktor utama, sehingga harus memenuhi syarat-syarat tertentu yaitu:
1. murni
2. unggul
3. stabil
4. bukan pathogen
Dalam proses-proses tertentu harus menggunakan biakan murni (dari satu strain tertentu) yang telah diketahui sifat-sifatnya. Untuk menjaga agar biakan tetap murni dalam proses maka kondisi lingkungan harus dijaga tetap steril. Penggunaan kultur tunggal mempunyai resiko yang tinggi karena kondisi harus optimum. Untuk mengurangi kegagalan dapat digunakan biakan campuran. Keuntungan penggunaan biakan campuran adalah mengurangi resiko apabila mikrobia yang lain tidak aktif melakukan fermentasi. Dalam bidang pangan penggunaan biakan campuran dapat menghasilkan aroma yang spesifik.

Pengembangan inokulum yang terdiri campuran biakan murni belum berkembang di Indonesia. Sebagai contoh, inokulum tempe yang dibuat LIPI masih merupakan inokulum kultur tunggal sehingga produsen tempe sering mencampur inokulum murni dengan inokulum tradisional dengan maksud memperoleh hasil yang baik.
Inokulum tape (ragi tape) juga belum berkembang. Di Malaysia, telah dikembangkan campuran kultur murni untuk membuat tape rendah alkohol. Ini merupakan upaya untuk memenuhi tuntutan masyarakat yang sebagian besar muslim. Isolatnya sendiri diperoleh dari ragi yang telah ada di pasaran.
Penggunaan inokulum campuran harus memperhatikan kebutuhan nutrisi mikroorganismenya. Kultur campuran yang baik adalah model suksesi sehingga antar organisme tidak bersaing namun saling mendukung untuk pembentukan produk.
Pada kondisi fermentasi yang diberikan, mikrobia harus mampu menghasilkan perubahan-perubahan yang dikehendaki secara cepat dan hasil yang besar. Sifat unggul yang ada harus dapat dipertahankan. Hal ini berkaitan dengan kondisi proses yang diharapkan. Proses rekayasa genetik dapat dilakukan untuk memperbaiki sifat jasad dengan maksud mempertinggi produk yang diharapkan dan mengurangi produk-produk ikutan.
Pada kondisi yang diberikan, mikrobia harus mempunyai sifat-sifat yang tetap, tidak mengalami perubahan karena mutasi atau lingkungan. Mikrobia yang digunakan adalah bukan patogen bagi manusia maupun hewan, kecuali untuk produksi bahan kimia tertentu. Jika digunakan mikrobia patogen harus dijaga, agar tidak menimbulkan akibat samping pada lingkungan.
Bahan dasar untuk kepentingan fermentasi dapat berasal dari hasil-hasil pertanian, perkebunan maupun limbah industri. Bahan dasar yang umum digunakan di negara berkembang adalah:
1. hasil perkebunan: molaseampas tebu, kulit kopi, kulit coklat, sabut kelapa dsb
2. Hasil pertanian: jerami, singkong, ubi jalar, susu daging, ikan dsb
3. Limbah cair dan padat, sisa pabrik, sampah dsb
Salah satu mikroba yang paling banyak dimanfaatkan untuk membuat produk-produk fermentasi adalah kapang. Beberapa jenis kapang tertentu seperti Neurospora sitophila, Aspergillus oryzae, Aspergillus niger, dan Rhizopus banyak dimanfaatkan untuk membuat produk-produk dari bahan pangan kacang-kacangan. Umumnya pembuatan produk kacang-kacangan diatas lebih banyak dikenal masyarakat secara tradisional. Produk-produk seperti tempe, oncom, dan kecap adalah beberapa contoh produk fermentasi menggunakan mikroba kapang.
Tempe merupakan makanan tradisional yang sangat populer di Indonesia, terutama di kalangan masyarakat Jawa. Tempe adalah salah satu produk fermentasi. Bahan bakunya umumnya kedelai. Namun selain itu, dikenal juga bahan-bahan baku lainnya, seperti ampas kacang untuk membuat tempe bungkil, ampas kelapa untuk membuat tempe bongkrek, ampas tahu untuk membuat tempe gembus, dan biji benguk untuk membuat tempe benguk.
Pemanfaatan kapang sebenarnya tidak hanya terbatas pada produk-produk tradisional saja. Hasil-hasil fermentasi kapang yang lebih modern antara lain berupa asam sitrat, asam asetat, antibiotika, enzim dan sebagainya yang justru belum dikenal masyarakat secara luas. Kurang dikenalnya produk-produk diatas disebabkan proses fermentasinya memerlukan ketelitian dan pengawasan yang baik.
Produk-produk fermentasi yang dikembangkan secara tradisional umumnya dapat dibuat secara alami, dalam arti proses yang dilakukan dapat tercipta secara alami. Namun adanya tuntutan konsumen terhadap kualitas bahan pangan yang dihasilkan, proses fermentasi secara tradisional ini mulai diarahkan pada peningkatan mutu. Peningkatan mutu ini dimulai dari pemilihan bahan baku, kondisi proses, dan penggunaan mikroba yang lebih murni.
Beberapa produk tradisional diatas, tidak seluruhnya hasil aktifitas kapang. Dalam proses pembuatannya sering melibatkan mikroba lainnya seperti bakteri. Proses fermentasi semacam ini dapat dilihat dalam proses fermentasi kecap, dimana mikroba yang terlibat merupakan mikroba gabungan antara kapang dan bakteri. Beberapa produk pangan lainnya seperti oncom dan tempe merupakan produk fermentasi murni yang berasal dari fermentasi kapang. Kelemahan produk fermentasi kapang ini adalah tidak dapat bertahan lama, karena dominasi kapang dalam proses fermentasi umumnya terbatas. Sebagai contoh, tempe akan mengalami kebusukan yang diakibatkan pertumbuhan bakteri pembusuk setelah setelah pertumbuhan kapang terhenti.
Proses pembuatan tempe adalah proses peragian (fermentasi) oleh kapang Rhizopus sp, yaitu R. orizae, R. chlamidosporus. Spora kapang ini tumbuh pada kedelai dan membentuk benang-benang (miselium) yang mengikat biji-biji kedelai satu dengan lain sehingga didapatkan massa yang kompak. Selama waktu inkubasi, Rhizopus sp yang digunakan adalah yang terdapat pada tempe yang sudah jadi atau pada bekas pembungkusnya. Spora kapang ini juga dapat diawetkan pada daun waru (Hibiscus tiliaceus).
Fermentasi pada tempe dapat menghilangkan bau langu dari kedelai yang disebabkan oleh aktivitas dari enzim lipoksigenase. Jamur yang berperanan dalam proses fermentasi tersebut adalah Rhizopus oligosporus. Beberapa sifat penting dari Rhizopus oligosporus antara lain meliputi: aktivitas enzimatiknya, kemampuan menghasilkan antibiotika, biosintesa vitamin-vitamin B, kebutuhannya akan senyawa sumber karbon dan nitrogen, perkecambahan spora, dan penertisi miselia jamur tempe ke dalam jaringan biji kedelai
Tempe yang baik bentuknya keras dan kering serta didalamnya tidak mengandung kotoran dan campuran bahan-bahan lain. Tetapi sayangnya tempe tidak dapat disimpan lama, maksimal tahan selama 2 x 24 jam. Setelah lewat masa itu kapang tempe akan mati, selanjutnya akan tumbuh jamur dna bakteri-bakteri lain yang dapat merobak protein sehingga tempe menjadi busuk.
Secara kuntitatif, nilai gizi tempe sedikit lebih rendah daripada nilai gizi kedelai. Namun secara kualitatif nilai gizi tempe lebih tinggi karena tempe mempunyai nilai cerna yang lebih baik. Hal ini disebabkan kadar protein yang larut dalam air akan meningkat akibat aktivitas enzim proteolitik.
Zat Gizi Satuan Komposisi Zat Gizi 100 gram bdd*
Kedelai Tempe Kedelai
Energi (kal) 381 201
Protein (gram) 40,4 20,8
Lemak (gram) 16,7 8,8
Hidrat arang (gram) 24,9 13,5
Serat (gram) 3,2 1,4
Abu (gram) 5,5 1,6
Kalsium (mg) 222 155
Fosfor (mg) 682 326
Besi (mg) 10 4
Karotin (mkg) 31 34
Vitamin A (SI) 0 0
Vitamin B1 (mg) 0,52 0,19
Vitamin C (mg) 0 0
Air (gram) 12,7 55,3
*bdd (berat yang dapat dimakan) (%) 100 100, Sumber: Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia Depkes RI Dir. Bin.Gizi Masyarakat dan Puslitbang Gizi 1991

D. ALAT DAN BAHAN
Alat Bahan
• Dandang
• Kalo
• Kompor
• Tampah
• Pengaduk kayu
• Seal plastic
• Baskom
• Jarum penusuk • Kedelai
• Daun pisang
• Inokulan (ragi tempe)
• Bahan bakar
• Kantong plastic

E. PROSEDUR
1. Kedelai kupas basah
a. Rendam kedelai dalam air mendidih selama 1 malam
b. Cuci dan buang bagian kedelai yang mengambang, kemudian remas-remas sehingga kulitnya terlepas dan keping bijinya terbelah. Sementara itu masak air hingga mendidih.
c. Kukus kedelai yang sudah bersih dalam dandang yang airnya sudah mendidih selama 30 menit
d. Keluarkan isi kedelai dari dalam dandang, tiriskan dalam kalo, lalu taburkan dalam tampah sehingga dingin
e. Selama menunggu kedelai dingin, siapkan kantong plastik dan daun pisang sebagai pembungkus. Lakukan penusukan pada kantong plastik dengan jarak 3 cm secara vertikal dan horizontal.
f. Campurkan inokulum (ragi tempe) dengan kedelai matang yang sudah dingin secara merata. Usahakan proses pencampuran tidak dilakukan dengan tangan.
g. Masukan bakal tempe kedalam masing-masing pembungkus. Untuk kantong plastic isi kira-kira setengahnya, lalu ujungnya direkatkan dengan penutup plastic (sealer). Untuk daun pisang lipat sedemikian rupa sehingga berupa bungkusan.
h. Fermentasikan bakal tempe tersebut kira-kira 36-48 jam pada rak-rak yang kemudian ditutup dengan karung goni atau langsung masukan dalam laci-laci.
2. Kedelai kupas kering
a. Kupas kedelai yang masih kering (kadar air 12-13%) dengan alat pengupas kulit yang sekaligus kulit arinya bisa terbuang
b. Cuci kedelai untuk membersihkan kotoran yang masih terdapat di kedelai
c. Rendam kedelai selama 12 jam dengan pH akhir 3-5 (bisa ditambahkan asam cuka)
d. Lakukan pencucian kembali yang diikuti dengan pengupasan kulit ari pada kedelai yang belum terkupas dan pencucian dilakukan sampai air cucian bening
e. Kedelai direbus sampai matang (2 jam)
f. Kedelai yang sudah direbus diangkat dan diriskan sambil dikeringanginkan sampai benar-benar tiris. Pendinginan kedelai dilakukan dengan cara dihamparkan diatas tampah besar
g. Setelah kedelai benar-benar tiris, inokulasikan dengan pemberian ragi tempe, untuk setiap 1 kg kedelai memerlukan 1 sendok teh ragi tempe. Ragi diratakan pada kedelai sampai benar-benar rata.
h. Kedelai yang sudah tercampur ragi selanjutnya dikemas dalam kantong plastik atau daun yang telah ditusuk-tusuk dengan lidi. Diameter 1 mm dan jarak antar lubang 2 x 2 cm
i. Setelah selesai dikemas dilanjutkan dengan fermentasi (pemeraman) pada suhu kamar Selama 36-48 jam










F. DATA HASIL PENGAMATAN
1. Kedelai kupas basah
No Parameter Perlakuan Jenis Kemasan
Plastik Daun pisang
1 Warna Kecoklatan Kecoklatan
2 Bau Busuk Busuk
3 Tekstur Lembek Lebih lembek dari tempe dalam plastik
4 Rasa - -
5 Kenampakan Tidak kompak, terdapat jamur berwarna hitam, berlendir Tidak kompak, terdapat jamur berwarna kehitaman berlendir

2. Kedelai kupas kering
No Parameter Perlakuan Jenis Kemasan
Plastik Daun pisang
1 Warna Putih agak coklat Kuning agak coklat
2 Bau Khas tempe Asam
3 Tekstur Agak keras Agak lembek
4 Rasa Agak getir pahit
5 Kenampakan Tidak kompak, terdapat jamur berwarna hitam Tidak kompak, terdapat jamur berwarna hitam

G. PEMBAHASAN
Fermentasi adalah proses produksi energi dalam sel dalam keadaan anaerobik (tanpa oksigen). Secara umum, fermentasi adalah salah satu bentuk respirasi anaerobik, akan tetapi, terdapat definisi yang lebih jelas yang mendefinisikan fermentasi sebagai respirasi dalam lingkungan anaerobik dengan tanpa akseptor elektron eksternal.
Persiapan atau pengawetan bahan pangan dengan proses fermentasi tergantung pada produksi oleh mikroorganisme tertentu, perubahan-perubahan kimia dan fisik yang merubah rupa, bentuk (body) dan flavor dari bahan pangan aslinya. Perubahan-perubahan ini dapat memperbaiki gizi dari produk dan umumnya menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang tidak diinginkan.
Pembuatan tempe dan tape (baik tape ketan maupun tape singkong atau peuyeum) adalah proses fermentasi yang sangat dikenal di Indonesia. Proses fermentasi menghasilkan senyawa-senyawa yang sangat berguna, mulai dari makanan sampai obat-obatan. Proses fermentasi pada makanan yang sering dilakukan adalah proses pembuatan tape, tempe, yoghurt, dan tahu.
Tempe merupakan makanan tradisional yang sangat populer di Indonesia, terutama di pulau jawa. Tempe kedelai mempunyai nilai gizi yang cukup tinggi. Selain mengandung protein sekitar 19,5% tempe kedelai mengandung lemak sekitar 4%, karbohidrat 9,4% dan vitamin B12 antara 3,9-5 mg per 100 gram. Kadar asam lemak jenuhnya rendah dan tidak mengandung kolestrol. Rasanya lezat dan harganya relative murah. Berbagai bahan dasar dapat digunakan untuk membuat tempe misalnya biji kecipir, ampas tahu, kara benguk, dan lain-lain, tetapi yang banyak dikenal adalah tempe dari kedelai.
Fermentasi pada tempe dapat menghilangkan bau langu dari kedelai yang disebabkan oleh aktivitas dari enzim lipoksigenase. Jamur yang berperanan dalam proses fermentasi tersebut adalah Rhizopus oligosporus. Beberapa sifat penting dari Rhizopus oligosporus antara lain meliputi: aktivitas enzimatiknya, kemampuan menghasilkan antibiotika, biosintesa vitamin-vitamin B, kebutuhannya akan senyawa sumber karbon dan nitrogen, perkecambahan spora, dan penertisi miselia jamur tempe ke dalam jaringan biji kedelai.
Kapang berlawanan sifat dengan bakteri dan khamir, seringkali dapat dilihat dengan mata. Sifat pertumbuhannya yang khas adalah berbentuk kapas. Organisme ini dapat memecah bahan-bahan organik kompleks menjadi menjadi yang lebih sederhana termasuk pembusukan.
Secara umum, tempe berwarna putih karena pertumbuhan miselia kapang yang merekatkan biji-biji kedelai sehingga terbentuk tekstur yang memadat. Degradasi komponen-komponen kedelai pada fermentasi membuat tempe memiliki rasa dan aroma khas. Berbeda dengan tahu, tempe terasa agak masam.

Gambar 1. Tempe
Praktikum proses fermentasi tempe kedelai dilakukan dengan menggunakan dua metode pengupasan yang berbeda, yaitu pengupasan cara basah dan cara kering, dan dikemas dengan dua bahan berbeda yaitu menggunakan plastik dan daun pisang. Hasil dari kedua metode pengupasan dan kemasan berbeda tersebut dibandingkan.
Proses Pengupasan kulit ari dapat dilakukan sebelum atau sesudah perendaman. Pengupasan kulit ari perlu dilakukan karena dalam kulit ari tersebut mengandung senyawa anti jamur. Bentuk senyawa ini tidak disebutkan tetapi bersifat larut dalam air perendaman dan pemasakan, sehingga bila kedelai dikupas sebelum direbus maka kapang akan menghasilkan miselia yang baik dan menghasilkan bau yang disukai.

Gambar 2. Pengupasan Cara Basah
Pada pengupasan kulit ari diusahakan keping biji kedelai terpisah karena penetrasi miselium kapang banyak terjadi pada permukaan yang datar daripada lengkung, pengupasan dengan menggunakan mesin pengupas kedelai dapat meningkatkan produksi dan lebih terjamin kebersihannya. Secara umum pengupasan kulit ari ini menggunakan cara basah. Pada cara ini dibutuhkan air dalam jumlah yang banyak jika dibandingkan dengan cara kering. Pada cara basah membutuhkan air ± 350 liter untuk 10 kg kedelai kering. Sedangkan bila menggunakan cara kering, air tidak dibutuhkan dalam proses pengupasan maupun pemisahan kulit ari kedelai, air pada cara pengupasan kering hanya digunakan untuk pencucian dan perebusan saja.
Perendaman merupakan tahapan yang penting dalam proses pembuatan tempe. Dalam pertumbuhan kapang tempe membutuhkan substrat yang asam atau pH rendah kisaran 3-6. Dan selama perendaman pH air turun dari 6,5 sampai 4,5-5,0. Perendaman dimaksudkan untuk menginaktifkan bakteri yang tidak diinginkan. Kedelai mengandung senyawa rafinosa dan stakiosa yang dapat menyebabkan perut kembung. Namun selama proses perendaman beberapa bakteri mampu merombak rafinoso dan stakiosa menjadi senyawa yang lebih sederhana, sehingga dapat mencegah terjadinya gangguan pencernaan dan perut kembung.
Setelah kedelai dibuang kulitnya, proses selanjutnya adalah perebusan. Perebusan umumnya dilakukan dua kali, perebusan pertama dimaksudkan untuk memudahkan pengupasan cara basah. Sedangkan perebusan kedua ditujukan untuk membunuh bakteri kontaminan yang tumbuh saat perendaman, mengurangi senyawa yang berbentuk buih pada permukaan kedelai yang dapat menyebabkan keracunan, melepaskan nutrisi yang dapat menunjang pertumbuhan kapang, serta menghancurkan tripsin inhibitor.
Kedelai yang sudah direbus tersebut kemudian ditiriskan. Penirisan dilakukan setelah kedelai turun dari perebusan. Penirisan dilakukan agar kelebihan air dapat dihindari, jika air bebas yang tersedia terlalu banyak akan mendorong pertumbuhan bakteri namun bila terlalu sedikit dapat menyebabkan dehidrasi pada permukaan kedelai sehingga menghambat pertumbuhan kapang.
Kedelai yang telah ditiriskan lalu didinginkan. Proses pendinginan dimaksudkan agar suhu kedelai turun sesuai suhu kamar karena bila suhu kedelai terlalu tinggi saat inokulasi maka pertumbuhan kapang akan terganggu.
Tahap selanjutnya adalah inokulasi, kedelai dicampur dengan ragi tempe. Ragi tempe yang dipergunakan saat praktikum adalah ragi tempe dari LIPI. Dalam proses inokulasi dibutuhkan tingkat kebersihan yang tinggi, karena pada tahap ini rentan sekali terjadi kontaminasi.

Gambar 3. Kedelai yang sudah ditambahkan ragi tempe
Setelah kedelai diinokulasi kemudian dikemas untuk mengkondisikan sedikit oksigen sesuai kebutuhan kapang. Syarat kemasan tempe antara lain : dapat memberikan cukup oksigen yang dibutuhkan kapang, dan dapat memungkinkan pengeluaran uap air, sehingga air tidak menempel pada kedelai yang dapat mendorong pertumbuhan bakteri kontaminan. Pemeraman atau fermentasi dipengaruhi oleh suhu dan konsentrasi ragi. Semakin tinggi suhu fermentasi semakin cepat pertumbuhan kapang namun apabila suhu fermentasi mencapai lebih dari 40oC akan menghambat pertumbuhan kapang. Kemasan yang dipergunakan ada 2 macam, yaitu plastik dan daun pisang. Dari hasil praktikum dan pengamatan secara organoleptik, diketahui :


1. Pengupasan Cara Basah
Tempe dengan pengupasan cara basah yang dikemas dengan plastik memiliki karakteristik fisik sebagai berikut : warna kecoklatan, berbau busuk, dan tekstur lembek, dan penampakan tidak kompak, terdapat jamur berwarna hitam dan berlendir, Hal yang sama juga terjadi pada tempe yang dikemas dengan daun pisang. Hal tersebut kemungkinan diakibatkan terjadinya kontaminasi dari mikroba pathogen, sehingga mikroba yang tumbuh tidak hanya Rhizopus sp tetapi juga jamur dan bakteri. Pengamatan untuk parameter rasa tidak dapat dilakukan, karena kondisi tempe yang sudah tidak memungkinkan untuk dikonsumsi.
2. Pengupasan Cara Kering
Pada pembuatan tempe dengan cara kering, proses pengupasan tidak dilakukan saat praktikum. Dari hasil praktikum dan pengamatan secara organoleptik, diketahui tempe yang dikemas dengan plastik memiliki warna putih agak coklat, berbau khas tempe, tekstur agak keras dengan rasa agak getir, penampakan tidak kompak dan terdapat jamur berwarna hitam.
Sedangkan untuk tempe yang dikemas dengan daun pisang berwarna kuning agak coklat, berbau asam, agak lembek, rasanya pahit, penampakan tidak kompak dan terdapat jamur berwarna hitam. Akan tetapi keduanya tidak memiliki kerusakan separah pada tempe yang dikemas dengan plastik.

H. KESIMPULAN
Tempe yang dikupas dengan cara basah, baik yang dikemas dengan plastik maupun dengan daun pisang mengalami kontaminasi oleh mikroba pathogen sehingga terjadi kebusukan yang menyebabkan warna, penampakan, tekstur dan bau yang menyimpang. Sedangkan pengupasan cara kering, meskipun jauh dari standar tempe yang baik, akan tetapi kerusakan yang terjadi tidak separah pada tempe yang dikupas dengan cara basah.

I. DAFTAR PUSTAKA
• Buckle. 1987. Ilmu Pangan. Jakarta: UI Press
• http://www.indonesiapintar.or.id
• www.wikipedia.org
• http://kambing.ui.ac.id/bebas/v12/artikel/pangan/PIWP/TEMPE.PDF.
• http://www.shvoong.com
• http://www.lautanindonesia.com
• http://www.gizi.net
• http://freddish.wordpress.com
• http://community.um.ac.id
• http://ptp2007.wordpress.com
• http://www.yuwie.com

SARI BUAH DAN JELLY DRINK

SARI BUAH DAN MINUMAN JELLY (JELLY DRINK)
A. TUJUAN
1. Mampu membuat sari buah memanfaatkan prinsip ekstraksi
2. Mampu membandingkan kualitas sari buah yang dihasilkan dengan buah segar

B. PRINSIP
Prinsip dasar pembuatan sari buah adalah ekstraksi dengan pemisahan senyawa polar dan nonpolar oleh pelarut tertentu

C. TINJAUAN PUSTAKA
1. Ekstraksi
Ekstraksi merupakan proses pemisahan yang meliputi dua fase. Larutan adalah bahan yang ditambahkan untuk membentuk suatu fase yang berbeda dari bahan yang dipisahkan. Pemisahan tercapai jika komponen yang dipisahkan larut dalam larutan sementara komponen yang lainnya masih tetap berada dalam bahan asalnya.
Pengertian lain dari ekstraksi adalah proses pemisahan komponen-komponen terlarut dari suatu campuran komponen tidak terlarut dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Dengan kata lain, ekstraksi merupakan proses pemisahan dengan pelarut yang melibatkan perpindahan zat terlarut ke dalam pelarut.
Pelarut yang biasa digunakan untuk proses ekstraksi dalam praktik sehari-hari adalah air, misalnya dalam pembuatan sari buah dari berbagai buah-buahan dan pembuatan santan dari kelapa parut. Pelarut organik yang umum digunakan untuk memproduksi konsentrat, ekstrak, absolut atau minyak atsiri dari bunga, daun, biji, akar, dan bagian lain dari tanaman adalah etil asetat, heksan, petroleum eter, benzen, toluen, etanol, isopropanol, aseton, dan juga air.

2. Sari Buah
Warna buah cepat sekali berubah oleh pengaruh fisika misalnya sinar matahari dan pemotongan, serta pengaruh biologis (jamur) sehingga mudah menjadi busuk. Oleh karena itu pengolahan buah untuk memperpanjang masa simpannya sangat penting.
Buah dapat diolah menjadi berbagai bentuk minuman seperti anggur, sari buah dan sirup juga makanan lain seperti manisan, dodol, keripik, dan sale. Sari buah atau jus (berasal dari bahasa Inggris juice, namun lebih tepatnya fruit juice) adalah cairan yang terdapat secara alami dalam buah-buahan. Sari buah populer dikonsumsi manusia sebagai minuman.
Sari buah adalah cairan yang dihasilkan dari pemerasan atau penghancuran buah segar yang telah masak. Pada prinsipnya dikenal 2 (dua) macam sari buah, yaitu :
1. Sari buah encer (dapat langsung diminum), yaitu cairan buah yang diperoleh dari pengepresan daging buah, dilanjutkan dengan penambahan air dan gula pasir.
2. Sari buah pekat/Sirup, yaitu cairan yang dihasilkan dari pengepresan daging buah dan dilanjutkan dengan proses pemekatan, baik dengan cara pendidihan biasa maupun dengan cara lain seperti penguapan dengan hampa udara, dan lain-lain.
Sirup ini tidak dapat langsung diminum, tetapi harus diencerkan dulu dengan air (1 bagian sirup dengan 5 bagian air). Buah-buahan yang sering diolah menjadi sari buah atau sirup antara lain : pala, pisang, jambu biji, mangga, sirsak, wortel, tomat, kueni, markisa, nangka, jahe, asam, hampir semua jenis jeruk, dan lain-lain. Sari buah atau sirup buah dapat tahan selama 3 bulan.






D. ALAT DAN BAHAN
Alat Bahan
• Blender
• Wajan
• Pisau
• Baskom
• Kain saring
• Sendok
• Timbangan
• Cup Sealer
• Pengaduk kayu
• Kompor • Sirsak
• Jeruk
• Nanas
• Jambu biji
• Air
• Gula
• Karagenan
• Kemasan cup

E. PROSEDUR
a. Kupas buah sirsak, potong-potong kecil (suir)
b. Rebus dalam air hingga mendidih dengan perbandingan sirsak dengan air adalah 1:3
c. Saring dengan kain saring bersih
d. Bagi dua filtrat untuk membuat sari buah dan minuman jelly
e. Panaskan masing-masing filtrat hingga mendidih
f. Untuk sari buah, tambahkan gula sebesar 10% berat filtrat buah sirsak
g. Untuk minuman jelly drink, tambahkan gula 10% dan karagenan 0,4% dari berat filtrat
h. Aduk hingga larut
i. Masukkan ke dalam kemasan cup
j. Tutup kemasan cup dengan cup sealer
k. Bersihkan kemasan dengan cara mencelupkan atau menyiram dengan air panas


F. DATA HASIL PENGAMATAN
1. Sari buah
No Sari buah Parameter
Warna Rasa Aroma Kenampakan
1 Jambu biji Lebih cerah Lebih manis, khas jambu biji Khas jambu biji berkurang Terdapat gumpalan seperti bubuk buah yang mengendap
2 Jeruk Lebih cerah Lebih manis, agak pahit, khas jeruk kurang Khas jeruk berkurang Bening
3 Sirsak Putih Manis agak asam, khas sirsak kurang Khas sirsak berkurang Putih keruh
4 Nanas Kuning cerah Manis agak asam, khas nanas Khas nanas meningkat Terdapat gumpalan seperti bubuk buah yang mengendap

2. Jelly Drink Buah
No Sari buah Parameter
Warna Rasa Aroma Kenampakan
1 Jambu biji cerah Lebih manis, khas jambu biji Khas jambu biji berkurang Terbentuk gel yang lembut
2 Jeruk Lebih cerah Lebih manis, agak pahit, khas jeruk kurang Khas jeruk berkurang Bening, Terbentuk gel yang lembut
3 Sirsak Putih Manis agak asam, khas sirsak kurang Khas sirsak berkurang Putih keruh, Terbentuk gel yang lembut
4 Nanas Kuning cerah Manis agak asam, khas nanas Khas nanas Terbentuk gel yang lembut
G. PEMBAHASAN
Buah-buahan merupakan bahan pangan sumber vitamin. Sebagian besar produk pertanian, khususnya buah-buahan dan sayuran lebih banyak dikonsumsi dalam bentuk segar dari pada dalam bentuk olahan. Disamping mengandung bahan-bahan seperti protein, karbohidrat dan vitamin masih cukup tinggi, juga masih mempunyai cita rasa yang segar dan menarik.
Kelebihan ini bisa kita peroleh dengan mengkonsumsi buah segar. Namun demikian kelebihan ini bisa menjadi kekurangan. Kadar air yang tinggi serta kandungan zat-zat gizi yang cukup bervariasi di dalam buah segar bisa mempermudah kerusakan buah. Akibatnya warna buah cepat sekali berubah oleh pengaruh fisika misalnya sinar matahari dan pemotongan, serta pengaruh biologis (jamur) sehingga mudah menjadi busuk. Oleh karena itu pengolahan buah untuk memperpanjang masa simpannya sangat penting. Buah dapat diolah menjadi berbagai bentuk minuman seperti anggur, sari buah dan sirup juga makanan lain seperti manisan, dodol, keripik, dan sale.
Oleh karena itu pengolahan buah untuk memperpanjang masa simpannya sangat penting. Buah dapat diolah menjadi berbagai bentuk minuman seperti anggur, sari buah dan sirup juga makanan lain seperti manisan, dodol, keripik, dan sale. Tingkat kerusakan produk pertanian khususnya buah dan sayuran diperkirakan sekitar 30 % sampai dengan 40 % , sedangkan 60 % dikonsumsi dalam bentuk segar dan olahan.
Sari buah atau jus (fruit juice) adalah cairan yang terdapat secara alami dalam buah-buahan. Sari buah populer dikonsumsi manusia sebagai minuman. Sari buah merupakan hasil pengepresan, penghancuran atau ekstraksi buah segar yang telah masak melalui proses penyaringan. Buah yang digunakan sebagai sari buah harus dalam keadaan matang dan mempunyai cita rasa yang menyenangkan dan banyak mengandung asam.
Minuman sari buah adalah minuman ringan yang dibuat dari bubur buah dan air minum dengan atau tanpa penambahan gula dan bahan tambahan makanan yang diizinkan. Definisi lain menyebutkan minuman sari buah (Fruit juice) adalah cairan jernih atau keruh yang tidak difermentasi, yang diperoleh dari buah-buahan yang telah masak dan masih segar.
a. Pembuatan sari buah
Pembuatan sari buah pada dasarnya berprinsip pada pemisahan senyawa larut air yang terkandung dalam buah dengan senyawa yang tak larut air. Senyawa larut air dalam buah kebanyakan merupakan senyawa karbohidrat tertentu tergentung dari umur buah. Semakin tua maka kandungan senyawa sakarida dan monomer polisakarida tertentu akan semakin banyak. Pada saat praktikum, pembuatan sari buah menggunakan buah nanas, jeruk, jambu biji dan sirsak sebagai sampel.
Buah sirsak dikupas dan dipotong-potong sebelum dipergunakan untuk bahan sari buah. pemotongan buah menjadi ukuran yang lebih kecil dengan cara mencabik (menyuir) buah, hal ini dilakukan agar diperoleh kadar sari buah sirsak dengan jumlah yang cukup. Semakin kecil luas permukaan, maka zat yang terkekstrak akan semakin banyak.
Tahapan selanjutnya adalah perebusan buah sirsak dalam air dengan perbandingan 1:3 hingga mendidih, proses perebusan dilakukan untuk mengekstrak senyawa larut air yang terkandung dalam buah sirsak, perebusan dilakukan hanya sampai mendidih untuk mencegah kehilangan senyawa-senyawa volatil tertentu serta mencegah kerusakan senyawa-senyawa lainnya akibat panas.
Setelah proses perebusan, tahapan selanjutnya adalah proses penyaringan yang bertujuan untuk memisahkan filtrat yang mengandung senyawa hasil ekstraksi buah sirsak dengan residu berupa daging buah sirsak dan biji, penyaringan dilakukan dengan kain kasa lembut. Hasil penyaringan diperoleh cairan yang berwarna putih dengan aroma khas sirsak yang tidak terlalu kuat dibandingkan buah asli.
Setelah penyaringan, biasanya ditambahkan bahan tambahan makanan tertentu agar diperoleh hasil sari buah yang mendekati mutu organoleptik buah asli. Saat praktikum, sari buah hasil penyaringan ditambahkan gula pasir (sukrosa) sebanyak 10%. Penambahan gula dilakukan ketika sari buah dipanaskan hingga mendidih, hal ini dilakukan untuk memudahkan proses pelarutan, selain itu juga untuk mencegah terjadinya karamelisasi gula akibat suhu tinggi.
Sari buah yang sudah jadi tersebut kemudian dikemas dalam kemasan cup bertutup plastic, hal ini dilakukan untuk mempertahankan daya simpan sari buah hingga beberapa minggu ke depan. Penambahan bahan pengawet biasanya digunakan untuk mempertahankan daya simpan, akan tetapi saat praktikum penambahan pengawet tidak dilakukan.
Kemasan cup yang ideal untuk digunakan sebagai pengemas sari buah sebaiknya berwarna gelap atau tidak tembus cahaya secara langsung, hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya oksidasi senyawa tertentu yang akan mempersingkat daya simpan sari buah. Setelah kemasan cup ditutup, kemasan kemudian dibilas atau dibersihkan terutama bagian permukaan kemasan dengan air hangat.
Berdasarkan hasil praktikum dan pengamatan secara organoleptik sari buah sirsak sedikit menurun dibandingkan buah sirsak asli, hal ini terjadi karena sari buah tidak ditambahkan bahan tambahan makanan tertentu. Hal yang sama juga terjadi pada sari buah dengan bahan yang lain, akan tetapi yang berbeda adalah pada sari buah nanas.
Sari buah nanas menghasilkan aroma yang lebih kuat dibandingkan buah asli, rasa sari buah pun sama dengan buah asli, hal ini terjadi karena ekstraksi dapat menghilangkan beberapa senyawa yang menghambat munculnya aroma pada buah nanas. Selain itu warna sari buah nanas ternyata lebih pekat dibandingkan sari buah lain.
Berbeda dengan sari buah jambu biji yang ditambahkan bahan pewarna merah, penambahan bahan tambahan pewarna ini dilakukan karena warna merah buah jambu buah cepat sekali berubah oleh pengaruh fisika misalnya sinar matahari dan pemotongan, serta pengaruh biologis (jamur).
b. Minuman Jelly Drink
Minuman jelly drink merupakan jenis sari buah yang ditambahkan karagenan sebagai pengental. Karagenan sama seperti agar-agar, karena diolah dari rumput laut, tentu halal dan aman bila digunakan dalam produk makanan. Fungsi utama karagenan sebagai bahan penstabil. Artinya produk makanan tsb menjadi stabil sistem emulsinya. Contoh: Jelly drink, sosis, makanan kaleng kucing, anjing, bahkan dendeng dibuat dari tetelan daging. Tidak seperti: agar-agar yan sifat gelling nya kuat. karagenan sifat gelling agak lemah dari agar-agar. Tentu berbeda dengan Gelatin. Terutama gelatin yang berasal dari babi. Produk makanan yang dibuat kental, stabil konsistensi dan kenampakannya dengan dicampur gelatin babi, walaupun alami tidak halal.
Jumlah penambahan karagenan dalam produk makanan/minuman tentu dalam jumlah sedikit. Contoh: penambahan karagenan sejumlah 150-200 ppm atau 0,0015 – 0,002% atau 0,15-0,2 mg dalam produk olahan susu, mencegah pemisahan whey atau cairan susu. Seperti pada produk ice cream, krim keju, milk shakes, susu coklat dll.
Pada pengolahan minuman jelly drink mengikuti tahapan yang sama dengan pembuatan sari buah. Perbedaan yang dominan hanyalah pada penambahan karagenan sebagai pengental di samping penggunaan gula pasir. Penambahan karagenan dilakukan dengan cara mencampur terlebih dahulu dengan gula, hal ini dilakukan untuk menjamin karagenan dan gula tercampur merata dan homogen sehingga tidak diperoleh gumpalan-gumpalan yang memisah.
Kualitas organoleptik minuman jelly drink buah kurang lebih sama dengan sari buah. Warna, rasa dan aroma sedikit berkurang dibandingkan dengan buah asli kecuali nanas. Perbedaan yang berarti hanya pada kenampakan yang agak padat dengan terdapat gel yang bertekstur lembut. Hasil pembuatan minuman jelly drink menunjukkan bahwa ternyata nanas menghasilkan aroma dan rasa yang sama dengan buah asli.

H. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil praktikum diketahui bahwa pengolahan buah menjadi sari buah maupun minuman jelly drink menurunkan mutu organoleptik. Hal tersebut dapat diatasi dengan menambahkan bahan tambahan makanan tertentu. Hasil yang berbeda terjadi pada nanas. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nanas dapat diolah tanpa menurunkan citarasa.



I. DAFTAR PUSTAKA
• Buckle, et al. 1987. Ilmu Pangan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
• http://en.wikipedia.org/wiki
• Muchtadi, T.R. 1992. Pengetahuan Bahan Hasil Pertanian. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institur Pertanian Bogor.
• Nuranggara, M.F.M. 2009. Strategi Pengembangan Usaha Sari Buah Jambu Biji pada PT
• Lipisari Patna Kabupaten Subang Jawa Barat. Skripsi. Departemen Agribisnis
• Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Penerbit Gramedia.

PENGALENGAN BAHAN PANGAN HEWANI

PRAKTIKUM PENGALENGAN BAHAN PANGAN HEWANI
PRINSIP
Proses pengawetan makanan dengan menggunakan panas untuk mengurangi aktivitas biologi (kimia dan mikroorganisme) agar bahan pangan aman dikonsumsi dan lebih awet
TUJUAN
Mampu menganalisis kualitas fisik dan organoleptik hasil pengalengan hewani
Mampu menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas bahan pangan hewani dalam proses pengalengan

TINJAUAN PUSTAKA
Pengalengan didefinisikan sebagai suatu cara pengawetan bahan pangan yang dipak secara hermetis (kedap terhadap udara, air, mikroba, dan benda asing lainnya) dalam suatu wadah, yang kemudian disterilkan secara komersial untuk membunuh semua mikroba patogen (penyebab penyakit) dan pembusuk. Pengalengan secara hermetis memungkinkan makanan dapat terhindar dan kebusukan, perubahan kadar air, kerusakan akibat oksidasi, atau perubahan cita rasa.
Namun, karena dalam pengalengan makanan digunakan sterilisasi komersial (bukan sterilisasi mutlak), mungkin saja masih terdapat spora atau mikroba lain (terutama yang bersifat tahan terhadap panas) yang dapat merusak isi apabila kondisinya memungkinkan. Itulah sebabnya makanan dalam kaleng harus disimpan pada kondisi yang sesuai, segera setelah proses pengalengan selesai.
Dalam industri pengalengan makanan, yang diterapkan adalah sterilisasi komersial (commercial sterility). Artinya, walaupun produk tersebut tidak 100 persen steril, tetap cukup bebas dari bakteri pembusuk dan patogen (penyebab penyakit), sehingga tahan untuk disimpan selama satu tahun atau lebih dalam keadaan yang masih layak untuk dikonsumsi.


Secara umum proses pengalengan ikan dalam skala industri umumnya dilakukan melalui beberapa tahap. Tahapan itu, meliputi pemilihan bahan baku, penyiangan, pencucian, penggaraman, pengisian bahan baku, pemasakan awal (precooking), penirisan, pengisian medium pengalengan, penghampaan udara, penutupan kaleng, pemasakan (retorting), pendinginan, dan pemberian label.
Pada prinsipnya hampir semua produk asal laut dapat dikalengkan, seperti teripang, cumi-cumi, kerang, kepiting, ubur-ubur, udang, berbagai jenis ikan, dan sebagainya. Hanya saja, pada umumnya ikanlah yang paling banyak dikalengkan. Beberapa jenis ikan yang biasa dikalengkan adalah cakalang, tuna, lemuru, sardin, salmon, kembung, banyar, kenyar, bengkunis, corengan, tembang, layang, bentong, dan juhi.
Keuntungan utama penggunaan kaleng sebagai wadah bahan pangan adalah:
Kaleng dapat menjaga bahan pangan yang ada di dalamnya. Makanan yang ada di dalam wadah yang tertutup secara hermetis dapat dijaga terhadap kontaminasi oleh mikroba, serangga, atau bahan asing lain yang mungkin dapat menyebabkan kebusukan atau penyimpangan penampakan dan cita rasanya.
Kaleng dapat juga menjaga bahan pangan terhadap perubahan kadar air yang tidak diinginkan.
Kaleng dapat menjaga bahan pangan terhadap penyerapan oksigen, gas-gas lain, bau-bauan, dan partikel-partikel radioaktif yang terdapat di atmosfer.
Untuk bahan pangan berwarna yang peka terhadap reaksi fotokimia, kaleng dapat menjaga terhadap cahaya.
Di antara bakteri-bakteri yang berhubungan dengan pengalengan ikan, Clostridium botulinum adalah yang paling berbahaya. Bakteri tersebut dapat menghasilkan racun botulin dan membentuk spora yang tahan panas. Pemanasan selama empat menit pada suhu 120 derajat C atau 10 menit pada suhu 115 derajat C sudah cukup untuk membunuh semua strain C. botulinum (A-C). Karena sifatnya yang tahan panas, jika proses pengalengan dilakukan secara tidak benar, bakteri tersebut dapat aktif kembali selama penyimpanan.
Dalam proses biasanya dilakukan penambahan medium pengalengan. Di Indonesia, dikenal tiga macam medium pengalengan, yaitu larutan garam (brine), minyak atau minyak yang ditambah dengan cabai dan bumbu lainnya, serta saus tomat. Penambahan medium bertujuan untuk memberikan penampilan dan rasa yang spesifik pada produk akhir, sebagai media pengantar panas sehingga memperpendek waktu proses, mendapatkan derajat keasaman yang lebih tinggi, dan mengurangi terjadinya karat pada bagian dalam kaleng.
Apabila menginginkan produk yang siap olah, pilihlah yang bermedia saus tomat. Bila ingin mengolah produk dalam kaleng lebih lanjut, produk berlarutan garam atau minyak nabati dapat dipilih.
Beberapa hal yang menyebabkan awetnya ikan dalam kaleng adalah:
Ikan yang digunakan telah melewati tahap seleksi, sehingga mutu dan kesegarannya dijamin masih baik.
Ikan tersebut telah melalui proses penyiangan, sehingga terhindar dari sumber mikroba kontaminan, yaitu yang terdapat pada isi perut dan insang.
Pemanasan telah cukup untuk membunuh mikroba pembusuk dan penyebab penyakit.
Ikan termasuk ke dalam makanan golongan berasam rendah, yaitu mempunyai kisaran pH 5,6 - 6,5. Adanya medium pengalengan dapat meningkatkan derajat keasaman (menurunkan pH), sehingga produk dalam kaleng menjadi awet. Pada tingkat keasaman yang tinggi (di bawab pH 4,6), Clostridium botulinum tidak dapat tumbuh.
Penutupan kaleng dilakukan secara rapat hermetis, yaitu rapat sempurna sehingga tidak dapat dilalui oleh gas, mikroba, udara, uap air, dan kontaminan lainnya. Dengan demikian, produk dalam kaleng menjadi lebih awet.
Satu hal yang harus diingat adalah bahwa pemanasan tidak dapat membunuh semua mikroba, khususnya thermofilik (tahan terhadap panas). Mikroba tahan panas tersebut tidak akan tumbuh pada kondisi penyimpanan yang normal. Apabila penyimpanan dilakukan pada ruang yang bersuhu cukup tinggi atau terkena cahaya matahari langsung, mikroba tahan panas tersebut akan aktif kembali dan merusak produk.
Penyimpanan produk harus dilakukan pada suhu yang cukup rendah, seperti pada suhu kamar normal dengan kelembaban rendah. Akan menjadi lebih baik lagi bila disimpan pada lemari pendingin.
Kondisi penyimpanan sangat berpengaruh terhadap mutu ikan dalam kaleng. Suhu yang terlalu tinggi dapat meningkatkan kerusakan cita rasa, warna, tekstur, dan vitamin yang dikandung oleh bahan akibat terjadinya reaksi-reaksi kimia.
Pengalengan merupakan suatu Clotridium botulinum pengolahan makanan dimana produk dikemas dalam kaleng dengan tujuan untuk meningkatkan daya simpan produk tersebut. Peningkatan daya simpan terjadi karena dalam pengolahan menggunakan suhu tinggi dan sistem pengemasan yang kedap udara.
Mekanisme Pengalengan
Pengalengan bahan pangan pada prinsipnya dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :
Bahan pangan dikemas dulu secara hermetis, baru kemudian dipanaskan.
Bahan pangan dipanaskan lebih dahulu baru dikemas (dipak) secara hermetis baik setelah dingin maupun panas. Penggunaan kemasan secara dingin itu sering disebut sebagai pengalengan aseptis.
Penutupan Kaleng
Mesin penutup kaleng memiliki empat bagian penting yang berhubungan langsung dengan proses penutupan. Keempat bagian itu adalah:
Seaming Chuck
Merupakan bagian yang berbentuk lempeng atau piringan bulat yang ukurannya tepat seperti tutup kaleng (memiliki ukuran yang sama seperti bagian counter sink). Adapun fungsi seaming chuck ini adalah untuk menahan kaleng body agar tidak meleset pada operasi penutupan oleh rol pertama dan kedua.
Can Lifter Plate
Merupakan lempengan bulat yang menyangga kaleng dari bawah sehingga bagian atas kaleng menempel pada seaming chuck dan tepat berada pada posisi operasi rol pertama dan kedua.
First Operation Seaming Roll
Pada alat penutup kaleng double seamer, proses penutupan kaleng yang sebenarnya dilakukan oleh dua pasang rol yang posisinya saling bersilangan. Rol pertama ini ada dua (sepasang) yang posisinya adalah saling diagonal. Rol pertama memiliki lekukan yang lebih dalam dan lebar yang berfungsi untuk membentuk keliman awal.
Second operation seaming roll
Ini adalah rol kedua yang berfungsi untuk menyempurnakan hasil dari rol pertama. Rol kedua ini memiliki lekukan yang dangkal dan sempit sehingga menghasilkan keliman ganda yang lebih rapat.
Pada prinsipnya operasi penutupan kaleng dilakukan sebagai berikut:
Kaleng diletakkan tepat ditengah-tengah lifter, pada saat pedal ditekan lifter akan naik sehingga kaleng melekat pada seaming chuck, yang mana pada seaming chuck telah terdapat tutup kaleng. Rol pertama mulai bekerja, sambil berputar rol pertama akan mendekati posisi tutup kaleng. Karena lekukan pada rol pertama, maka tutup kaleng akan melipat ke bawah. Keliman pertama terbentuk. Setelah rol pertama mengelilingi seluruh bagian tutup kaleng maka rol pertama akan menjauhi tutup kaleng.
Setelah itu rol kedua yang berputar akan mendekati tutup yang telah dilipat oleh rol pertama tadi, karena lekukanya lebih sempit dan dangkal maka keliman yang terbentuk oleh rol kedua ini akan lebih rapat.
Setelah rol kedua menyelesaikan tugasnya maka akan segera menjauhi chuck dan lifter bersama kaleng yang telah tertutup akan turun, dan selesailah operasi penutupan kaleng tersebut. Seluruh operasi penutupan kaleng memerlukan waktu sekitar 10 detik.
ALAT DAN BAHAN
Alat Bahan Ikan Kaleng Bahan Daging Rawon Kaleng
Pisau Stainless Steel
Baskom/panci
Sendok
Timbangan
pH meter
Thermometer
Can Flanger Autoclave/Retort
Water bath
Kompor
Brix Refraktometer
Gelas ukur Ikan segar
Saos tomat
Bumbu Daging segar
Bumbu rawon



PROSEDUR
Persiapan Bahan
Pisahkan daging dari lemak, tulang rawan dan tulang. Kemudian cuci dengan air sampai bersih. Daging yang berukuran besar kemudian dipotong-potong dadu dengan ukuran yang seragam
Ikan dipisahkan dari bagian kepala, sisik, isi perut, dan bagian-bagian yang tidak dimakan. Lalu dipotong-potong sesuai dengan ukuran kaleng.
Persiapan medium
Medium pengalengan daging : medium dibuat dari bumbu rawon yang dimasukan kedalam air mendidih
Medium pengalengan ikan : medium dibuat dari saus tomat, tepung jagung, dan bumbu lainnya yang direbus sampai mendidih
Proses setelah pengisian
Kaleng dan tutupnya dibersihkan dengan air panas sampai bersih
Potongan daging atau ikan dimasukan kedalam kaleng (sisakan untuk medium & head space)
Medium larutan gula dimasukan kedalam kaleng yang sudah berisi potongan buah-buahan sampai 0,25-0,50 inch (sebagai head space) dari permukaan
Lakukan exhausting pada kaleng dalam keadaan terbuka pada Water Bath mendidih (sampai bagian tengah kaleng mencapai suhu 85oC) atau dengan uap panas selama 5-10 menit
Proses penutupan kaleng dilakukan secara hermitis dengan Double Seamer.
Processing dalam retort atau autoclave pada suhu 121oC selama 30-90 menit
Setelah processing, kaleng didinginkan dalam air mengalir
Kaleng dibersihkan dari sisa-sisa air dan simpan hasil pengalengan pada suhu kamar dan suhu 40-50oC selama 1 minggu

DATA PENGAMATAN
Pengamatan Setelah Prosesing
Pengamatan Kaleng Pada Saat Pendinginan
No Produk Tenggelam Mengambang Menggelembung
1 Sarden 15 - -
2 Rawon 5 - 9

Pengamatan Warna, Rasa dan Aroma
No Produk Warna Rasa Aroma Tekstur
1 Sarden Baik Baik Baik Duri belum lunak
2 Rawon Baik Baik Baik Daging kurang empuk

Pengamatan Setelah Penyimpanan Satu Minggu
Pengamatan Kaleng Setelah Penyimpanan
No Produk Baik Rusak
1 Sarden 15 -
2 Rawon 5 9

Pengamatan Warna, Rasa dan Aroma
No Produk Warna Rasa Aroma Tekstur
1 Sarden Baik Baik Baik Baik tetapi Duri belum lunak
2 Rawon Baik Baik Baik Daging kurang empuk

PEMBAHASAN
Seperti halnya pengalengan bahan pangan nabati, pengalengan bahan pangan hewani juga dilakukan dengan prosedur yang sama. Perbedaan yang cukup signifikan tentu saja dari bahan dasar yang dipergunakan, pada pengalengan bahan pangan hewani ini bahan baku yang dipergunakan adalah daging yang diolah menjadi rawon, dan ikan yang diolah menjadi ikan kaleng (lebih dikenal dengan nama “sarden”).
Pengalengan bahan pangan hewani memerlukan perlakuan pendahuluan yang cukup penting yang berbeda dengan pengalengan nabati, yaitu penghilangan kulit dan bagian yang tidak dimakan (dressing dan trimming).
Daging dan ikan yang dipergunakan memiliki kualitas yang baik, untuk daging yang akan dipergunakan sebaiknya tidak berlemak, sedangkan untuk ikan sebaiknya segar dan utuh. Dressing dan trimming-nya disesuaikan dengan bahan yang dipersiapkan. Pada persiapan daging, pemotongan menjadi bagian yang lebih kecil disesuaikan dengan ukuran kaleng. Untuk bagian tulang, lemak dan sisa potongan daging lainnya dapat dipergunakan untuk membuat medium pengisi kaleng atau lebih dikenal dengan nama Broth
Untuk bahan ikan yang akan dikalengkan, ikan dibersihkan dan bagian kepala, sisik, isi perut dan bagian lain yang tak dapat dimakan dibuang. Perendaman dengan air bersih dapat menghilangkan darah lebih efektif tetapi memiliki kecenderungan melunakkan daging ikan bila tidak digunakan air garam. Setelah dicuci bersih, ikan kemudian dipotong sesuai dengan ukuran kaleng.
Komoditas daging dan ikan termasuk bahan pangan low acid. Biasanya perlakuan panas untuk bahan pangan low acid dirancang untuk menginaktifkan sejumlah besar spora Clostridium botulinum. Proses sterilisasi komersial dilakukan melalui pemanasan pada suhu tinggi. Karena tujuan sterilisasi adalah untuk membunuh semua sel vegetatif dan semua spora bakteri, maka bahan pangan berasam rendah yang disterilisasi komersial membutuhkan suhu proses yang tinggi.
Daging dan ikan adalah komoditas yang kaya akan nutrisi sehingga merupakan substrat yang baik bagi pertumbuhan mikroba, oleh karena itu dalam praktikum ini ditekankan aspek aseptis dalam setiap tahapan pengerjaan. Penilaian keamanan pangan hasil pengolahan panas pada makanan kaleng secara umum harus memperhatikan hal berikut: (1) pengetahuan tentang resistensi mikroba paling tahan panas yang mampu menyebabkan pembusukan, dan (2) pengetahuan tentang kecepatan penetrasi panas ke dalam titik dalam wadah yang paling lambat menerima panas.
Mikroba memiliki ketahanan panas yang berbeda-beda. Spora bakteri umumnya mempunyai ketahanan panas yang lebih tinggi daripada sel vegetatifnya. Karena itulah, proses pemanasan pada sterilisasi komersial bertujuan untuk menginaktifkan spora bakteri, terutama spora bakteri patogen yang tahan panas.
Ketahanan panas mikroba tergantung pada sejumlah faktor yang harus dipertimbangkan dengan matang. Ada tiga kategori yang berhubungan dengan faktor-faktor ini, yaitu;
karakteristik pertumbuhan mikroba
sifat makanan dimana mikroba ini dipanaskan
jenis makanan dimana mikroba yang telah dipanaskan ini dibiarkan tumbuh.
Titik penetrasi panas yang paling lambat dalam kaeng menurut Buckle (1987) adalah pada titik di atas pusat geometris untuk produk padat. Sedangkan untuk produk cair terletak pada ± 1/6 hingga 1/3 tinggi kaleng. Kecepatan penetrasi panas dalam makanan kaleng diitentukan oleh :
Ukuran (rasio luas permukaan dengan volume), sifat asal dan komposisi wadah.
Konsistensi produk (rasio padatan dengan cairan)
Suhu retorr dan suhu awal makanan
Rotasi atau agitasi kaleng
Isi dan ukuran head space
Metode pengisian
Letak kaleng dalam autoclave
Metode operasi autoclave
Proses steriliasi perlu dikendalikan dengan baik karena bila tidak terkontrol dengan baik, pemanasan yang berlebihan dapat merusak mutu organoleptik dan gizi produk pangan tersebut. Produk pangan yang telah mengalami sterilisasi seharusnya dikemas dengan kemasan yang kedap udara untuk mencegah terjadinya rekontaminasi.
Produksi pangan steril komersial mencakup dua operasi yang esensial yaitu:
Bahan pangan harus dipanaskan secara cukup (pada suhu yang cukup tinggi dan waktu yang cukup lama) untuk memastikan bahwa kondisi steril komersial telah tercapai.
Pangan yang telah disterilisasi komersial harus dikemas dan ditutup dengan menggunakan wadah yang hermetik atau kedap udara (seperti kaleng, gelas, alumnium foil, retort pouch, dll), sehingga mampu mencegah timbulnya rekontaminasi setelah produk tersebut disterilkan
Kondisi pengemasan kedap udara ini menyebabkan terbatasnya jumlah udara (oksigen) yang rendah, sehingga mikroorganisme yang bersifat obligat aerob tidak akan mampu tumbuh pada produk pangan tersebut. Namun yang perlu diperhatikan adalah mikroorganisme (terutama spora) yang bersifat fakultatif atau obligat anaerob yang jika tidak diperhatikan dengan seksama akan mampu menyebabkan terjadinya kebusukan. Dengan demikian, suatu produk pangan dikatakan sudah steril komersial apabila:

produk telah mengalami proses pemanasan lebih dari 100oC
bebas dari mikroba patogen dan pembentuk racun
bebas mikroba yang dalam kondisi penyimpanan dan penanganan normal dapat menyebabkan kebusukan
awet (dapat disimpan pada kondisi normal tanpa refrigerasi)
Golongan bahan pangan low acid membutuhkan sterilisasi pada tekanan uap air tertentu. Hal ini karena sterilisasi pada titik didih tidak pernah berhasil. Suhu yang dibutuhkan untuk sterilisasi bahan pangan low acid minimal 240oF atau 116oC.
Pada saat praktikum proses sterilisasi untuk daging menggunakan suhu 121oC dan tekanan 1,05 bar. Sedangkan ikan menggunakan suhu 116oC tekanan 0,8 bar. Waktu dan suhu yang diperlukan proses sterilisasi tergantung pada konsistensi atau ukuran partikelnya, derajat keasaman isi kaleng, ukuran head space, besar dan ukuran kaleng, kemurnian uap air (steam) yang digunakan, dan kecepatan perambatan panas.
Suhu awal kaleng harus berada di atas 60°C. Hal ini dikarenakan pada suhu di bawah 60°C dikhawatirkan terjadi pertumbuhan mikroba, baik mikroba mesofilik maupun termofilik yang tumbuh pada kisaran suhu 37-55°C. Dengan demikian jika suhu 60oC tidak tercapai maka akan menambah jumlah awal mikroba yang akan berpangaruh terhadap keberhasilan proses sterilisasi.
Bila kondisi tetap dipertahankan pada standar yang ditetapkan, maka kemungkinan terjadi under process, yaitu proses tidak cukup membunuh mikroba patogen dan pembusuk yang ada. Sedangkan bila kondisi dirubah untuk menyesuaikan dengan jumlah mikroba awal, maka akan terjadi overprocess, yaitu proses berlebihan yang akan menyebabkan kerusakan bahan yang disterilisasi.
Sebelum sterilisasi dimulai, terdapat udara dalam jumlah yang banyak dalam autoclave. Autoclave horizontal dengan muatan penuh kaleng masih terdapat sekitar 70 – 80% ruangan yang masih dipenuhi udara. Sedangkan untuk autoclave vertikal bermuatan penuh, biasanya lebih dari 60% ruangan terisi oleh udara. Karena itu penting sekali membuang udara sebelum proses uap berlangsung, karena dengan adanya udara maka proses penetrasi panas dapat terhambat.
Coming up Time adalah waktu yang diperlukan untuk menaikkan suhu retort sampai mencapai suhu proses yang dikehendaki. Dengan demikian CUT dihitung dari mulai saat pertama autoklaf dibuka sampai akhirnya mencapai suhu yang dikehendaki. Dari pengalaman empiris, diketahui bahwa hanya 40% dari CUT mempunyai efek letal yang signifikan bagi tercapainya sterilitas. Semakin cepat CUT maka suhu proses akan semakin tinggi dan waktu proses yang dibutuhkan untuk mencapai suhu tersebut akan semakin cepat sehingga dapat menghemat energi yang digunakan pada proses pemanasan tersebut. Waktu CUT yang tercapai pada praktikum ini adalah 19 menit untuk daging. Semakin lama suhu CUT, maka waktu sterilisasi pun akan berkurang menurut persamaan berikut
Koreksi waktu=waktu sterilisasi-(0,4 x CUT)
Khusus untuk daging dan ikan waktu sterilisasi akan langsung mempengaruhi mutu organoleptik produk yang dihasilkan. Waktu sterilisasi yang terlalu pendek menyebabkan daging masih alot akan tetapi terlalu lama akan menyebabkan daging rapuh. Begitupun pada ikan. Waktu sterilisasi yang terlalu singkat menyebabkan duri masih keras.
Setelah prosedur sterilisasi, kaleng harus didinginkan sesegera mungkin untuk menghindari over cooking. Kemasan kaleng dapat didinginkan dengan pendinginan udara maupun dalam air mengalir. Apabila menggunakan air, maka kebersihan air harus diperhatikan. Karena air yang kotor dapat menyebabkan pembusukan atau kerusakan isi kaleng dan dapat menyebabkan korosi pada bagian luar kaleng.
Hasil praktikum menunjukkan bahwa mutu daging dan ikan dalam kaleng belum banyak berubah selama penyimpanan 1 minggu. Hanya saja diketahui bahwa tekstur daging yang masih agak alot. Hal ini seperti dijelaskan sebelumnya diakibatkan oleh waktu sterilisasi yang masih terlalu singkat akibat waktu CUT yang lama. Oleh karena itu sebaiknya autoclave yang akan digunakan telah dipanaskan terlebih dahulu sebelum proses steriliasi dimulai. Mutu organoleptik ikan hasil praktikum pun tidak jauh berbeda. Duri yang terdapat pada ikan belum sepenuhnya lunak.
Terlepas dari mutu organoleptik yang dihasilkan, secara umum praktikum pengalengan bahan pangan hewani ini lebih baik jika dibandingkan dengan pengalengan bahan pangan nabati dari praktikum sebelumnya. Hal ini ditandai tidak terdapat kaleng yang mengambang namun terdapat 9 buah kaleng yeng menggelembung dan dinyatakan rusak.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum diketahui bahwa tahapan kritis dalam pengalengan daging dan ikan terletak antara pengaturan waktu akibat koreksi waktu CUT. Apabila waktu terlalu lama maupun terlalu singkat akan mempengaruhi mutu organoleptik produk secara langsung. Meskipun demikian tidak banyak kaleng yang mengambang setelah pendinginan. Hal ini menunjukkan bahwa pengaturan head space telah jauh lebih seragam dibandingkan praktikum sebelumnya.
Daftar Pustaka
Buckle, et al. 1987. Ilmu Pangan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Dwiari, S.R. 2008. Teknologi Pangan Jilid 1. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Departemen Pendidikan Nasional.
Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Penerbit Gramedia.

.